Thursday, October 12, 2006

Bab Lima Kitab-Kitab Sejarah : Dari Yosua Sampai Pembuangan Babel

Ingatan adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia. Siapa kita dan akan seperti apa nantinya kita ini, bergantung sebagian besar pada apa yang telah kita lakukan dan apa yang kita ingat pada masa lalu, yaitu : sejarah kita.

Hal yang sama berlaku juga bagi suatu bangsa. Masing-masing bangsa dapat dikenal melalui terang sejarah-nya. Tak dapat disangkal bahwa kesadaran akan masa lalu menjadi hal penting bagi ketahanan suatu bangsa. Ketika Abraham Lincoln berusaha membawa bangsa Amerika ke luar dari krisis akibat perang saudara, ia memusatkan perhatian pada sejarah :”Delapan puluh tujuh tahun lalu, para bapa bangsa kita sampai di wilayah ini, menjadi suatu bangsa baru, mendambakan Kemerdekaan.”

Apa yang dialami oleh orang-perorang dan suatu bangsa dapat berlaku juga bagi suatu agama, seperti agama Yahudi dan Kristen, misalnya. Agama-agama ini dikenal sepenuhnya hanya melalui terang sejarahnya. Yudaisme berasal dari peristiwa-peristiwa sejarah yang membentuk orang-orang Yahudi sebagai bangsa dan kemudian bangsa itu memiliki suatu tujuan tertentu. Sedangkan agama Kristen berakar dari Yudaisme dan di kemudian hari semakin terbentuk karena keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa hidup, mati, dan kebangkitan Yesus Kristus. Yudaisme dan Kekristenan keduanya terbentuk atas dasar masa lalu.

Oleh karena itu, kitab-kitab sejarah dalam Perjanjian Lama menjadi sangat penting. Tetapi harus diingat bahwa kitab-kitab sejarah tersebut bukanlah merupakan tulisan sejarah dalam pengertian modern. Para sejarawan kuno tidak mempunyai VCR, telephone, mesin cetak. Karenanya, mereka tidak seakurat para sejarawan modern. Tujuan mereka dalam menulis sangat berbeda dengan para sejarawan modern.

Sejarah Keselamatan

Pada tahun 1948 Komisi Kitab Suci Kepausan, yang merupakan badan resmi pengajaran Kitab Suci Gereja Katolik, menyatakan bahwa sejarah dalam Kitab Suci adalah bukan sejarah dalam pengertian tulisan-tulisan sejarah modern. Ia merupakan sejarah sebagaimana orang-orang pada jaman dahulu memahami dan menuliskannya.

Sejarah Kitab Suci pertama-tama merupakan cerita-cerita yang berasal dari kumpulan ingatan keluarga-keluarga, suku-suku, dan bangsa-bangsa yang kemudian ditulis dan ditulis kembali. Kerapkali “sejarah” dalam pengertian seperti itu bukan merupakan hasil tulisan apa adanya dari masa lalu karena kemudian ia merupakan rekonstruksi imaginasi yang dinamakan cerita-cerita rakyat (folklore). Sejarah Kitab Suci memusatkan diri pada hubungan antara Allah dan umatnya. Oleh karena itu, ia dinamakan sejarah keselamatan.

Sejarah Keselamatan dapat didefinisikan sebagai kisah perjumpaan Allah dan manusia. Ia berkisah bagaimana Allah memasuki kehidupan kita dan mengundang kita untuk hadir dalam hadirat dan Keagungan Allah.

Dalam bab ini kita akan lebih memusatkan perhatian pada pesan-pesan spiritual dari sejarah keselamatan, yang kerap kita jumpai dalam tema-tema keagamaan dibandingkan dalam aturan-aturan moral tertentu. Kita juga akan memperhatikan peristiwa-peristiwa dan orang-orang penting dalam sejarah Israel, yang menyiapkan kerangka kerja sehingga pemahaman terhadap seluruh Kitab Suci menjadi lebih baik.

Kitab-kitab seperti Mazmur dan para nabi lebih berguna jika kita dapat menempatkannya dalam konteks keadaan sejarah pada masa itu. Mazmur 137, misalnya, akan berbicara kepada kita dengan penuh daya dan kecerdasan ketika kita menyadari bahwa Mazmur tersebut ditulis oleh seorang Yahudi dalam pembuangan Babel.

Dalam pada itu, pembentukan doktrin menjadi lebih mudah dipahami ketika kita memahami sejarah Perjanjian Lama. Apalagi jika kita mampu membedakan kitab-kitab yang lebih tua dari yang terbaru. Kita tidak akan terkejut ketika menjumpai bahwa kitab-kitab yang lebih tua belum memiliki pernyataan yang jelas ihwal kehidupan kekal. Dan kita akan melihat bagaimana Allah secara perlahan-lahan membimbing umatNya kepada pemahaman yang lebih lengkap akan rencana ilahi begitu umatNya lebih terbuka pada kebijaksanaan dan wahyu Allah.

Sejarah Ulangan (Deuteronomist)

Para ahli Kitab Suci cenderung memandang Kitab-kitab Yosua, Hakim-Hakim, 1 dan 2 Samuel, dan 1 dan 2 Raja-raja sebagai hasil inspirasi dari pandangan teologis Kitab Ulangan (Deuteronomist). Para ahli tersebut memasukkan ke-6 kitab ini sebagai sejarah Ulangan (Deuteronomist). Kitab-kitab ini merupakan sebuah upaya pemilahan baik dari cerita-cerita dari mulut ke mulut maupun cerita-cerita dalam bentuk tulisan misalnya cerita-cerita populer, cerita-cerita rakyat, biografi saksi mata, kisah para raja, dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan pajak, dan sumber-seumber lain. Mengingat sebagian besar sumber-sumber itu kurang pas sebagai suatu narasi yang teratur; maka tidak bisa lain sumber-sumber itu diambil begitu saja dan kemudian disusun sebagai bahan penjelasan bagi prinsip-prinsip teologi Ulangan. Alhasil, kitab-kitab tersebut terkadang berisi perubahan-perubahan yang mendadak, pengulangan-pengulangan, dan cerita-cerita yang saling bertentangan.

Para ahli berpendapat bahwa sejarah Ulangan disusun dari berbagai sumber kira-kira tahun 620 S.M. Dan kemudian diperbarui dan disusun kembali menjadi bentuk yang sekarang ini kira-kira tahun 550 S.M., pada masa pembuangan Babel. Isinya meliputi peristiwa-peristiwa dari kematian Musa (1210 S.M.) hingga pembuangan Babel (550 S.M.).

Mengapa sejarah Ulangan ditulis? Jawabnya adalah karena orang-orang Yahudi pada tahun 550 S.M. menyadari bahwa Allah berjanji akan menjadikan mereka sebagai bangsa yang terpilih. Tetapi setelah masa kejayaan Daud dan Salomo, orang-orang Israel tidak pernah lagi mengalami masa kemapanan. Negara tersebut terpecah menjadi dua bagian akibat perang saudara, mereka tidak pernah mencapai kebesaran seperti yang mereka harapkan. Kerajaan Utara Israel dihancurkan oleh bangsa Asyur pada tahun 721 S.M. dan Kerajaan Selatan Yehuda dihancurkan oleh bangsa Babel pada tahun 587 S.M. Orang-orang Israel yang selamat mencari jawaban atas peristiwa-peristiwa ini. Apakah Allah mereka benar-benar Tuhan? Jika benar-benar Tuhan mengapa Allah membiarkan mereka jatuh ke dalam kesengsaraan? Apakah mereka masih Keluarga Allah? Apa yang bisa menjadi pegangan mereka untuk masa depan? Sejarah Ulangan dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Sejarah Ulangan membenarkan bahwa hanya ada satu Allah. Allah tetap setia pada perjanjian yang telah dibuat dengan bangsa Israel, tetapi sebaliknya orang-orang Israel kerap tidak setia kepada Allah. Penderitaan yang dialami oleh orang-orang Israel kerap dipandang sebagai hukuman karena ketidak-patuhan mereka kepada Allah. Tetapi jika mereka mau bertobat, mereka akan memperoleh pengampunan dari Allah. Orang-orang Israel pada tahun 550 S.M. masih merupakan anggota Keluarga Allah; masa depan mereka tergantung kepada seberapa jauh mereka bisa menimba ilmu dari pelajaran masa lalu. Patuh terhadap Allah akan menerima berkat. Ketidak-patuhan akan mengakibatkan kehancuran.

Sebagaimana telah dijelaskna pada Bab Empat, kita harus memaklumi keterbatasan dari teologi Ulangan (Deuteronomist). Adalah benar bahwa kepatuhan akan menerima berkat dan ketidak-patuhan akan mendapat hukuman. Namun kita sekarang tahu dari ajaran Yesus bahwa Panghakiman Akhir dari Allah terjadi setelah kita mengalami kematian. Kita juga tahu dari ajaran Yesus Kristus bahwa penderitaan tidak selalu datangnya dari hukuman Allah karena dosa-dosa pribadi kita.

Kelemahan lain dari teologi Ulangan (Deuteronomist) bisa kita temukan pada pemahamannya bahwa Allah sebagai penyebab segala sesuatunya. Akibatnya, orang-orang Israel melihat Allah sebagai penyebab dosa dan sekaligus menghukum pendosa tersebut. Sebagai contoh, dalam 2 Samuel 24, dimana Allah mendorong Daud untuk melaksanakan sensus terhadap orang-orang Yahudi, dan kemudian menghukum Daud dan orang-orang Israel karena melakukan sensus tersebut. Perikop ini menguraikan suatu fakta bahwa inspirasi Allah atas para penulis Kitab Suci tidak menafikan keterbatasan para penulis. Kita melihat dalam 2 Samuel 24 kesalahan teologi jelas ada pada para penulisnya, dan kita didorong untuk mencari pemahaman yang lebih baik mengenai persoalam ilahi di dalam terang keseluruhan Kitab Suci, utamanya terang yang memancar dari ajaran Yesus.

Setelah memahami kelemahan teologi Ulangan, kita dapat belajar banyak dari perhatian utama mereka kepada keagungan Allah dan nilai-nilai kepatuhan. Sejarah Ulangan mengajarkan kepada kita untuk menjadikan Allah sebagai yang paling utama dalam hidup kita dan memandang setiap pilihan sebagai kesempatan untuk menjawab kehendak Allah.

Kitab Yosua

Kitab Yosua disebut demikian karena kepahlawanan Yosua, penerus Musa. Di dalam Kitab itu diceritakan bagaimana Yosua memimpin orang-orang Yahudi menyeberangi sungai Yordan masuk ke Tanah Terjanji dengan mengalahkan penduduk asli dan membagi wilayah yang direbut itu di antara suku-suku Israel.

Tujuan utama dari Kitab Yosua adalah untuk menunjukkan kesetiaan Allah dalam membawa bangsa Israel ke Tanah Terjanji. Kesan yang dapat kita tangkap dari Kitab tersebut adalah orang-orang Israel mampu membangun tentara yang kuat yang kemudian menaklukkan penduduk asli Kanaan dan merampas tanah mereka. Tetapi Kitab Hakim-hakim menyajikan gambaran yang agak berbeda. Dalam Kitab tersebut digambarkan bahwa suku-suku Israel harus berjuang mati-matian untuk membangun sebuah pijakan di Tanah Terjanji.

Gambaran dari Kitab Hakim-hakim ini barangkali yang lebih mendekati kenyataan sebenarnya. Sedangkan Kitab Yosua hampir dapat dipastikan berisi gambaran ideal atas penaklukkan Tanah Terjanji : meringkas kejadian-kejadian yang sesungguhnya telah ber­lang­sung selama berabad-abad menjadi seolah-olah hanya beberapa tahun saja. Fakta sesungguhnya atas invasi Palestina oleh orang-orang Yahudi dan penaklukkan yang bertahap atas penduduk asli adalah inti sejarah di balik Kitab Yosua. Sepanjang inti sejarah itu bisa kita jumpai banyak cerita, seperti penaklukkan Yeriko, yang tidak dapat dibuktikan oleh para arkeolog dan cerita itu harus dikategorikan sebagai cerita rakyat (folklore). Maksud penulisnya adalah memberikan pelajaran teologi, bukan sejarah dalam pengetian modern.

Menyadari bahwa Kitab Yosua bukan sejarah dalam artian modern justru dapat membantu kita memecahkan satu masalah penting baik dalam Kitab ini maupun kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Yaitu masalah yang sering dinyatakan kembali berulang-ulang bahwa Allah memerintahkan pembasmian secara menyeluruh bagi siapa saja yang menentang orang-orang Yahudi.

Perlu dicatat bahwa perang-perang suci -- yang menganggap perintah Allah membantai baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak – ditulis kira-kira tujuh ratus tahun setelah peperangan itu terjadi, yaitu pada masa ketika orang-orang Yahudi berjuang mati-matian untuk hidup. Oleh karena itu, banyak perang suci yang menempatkan para musuh sebagai orang-orang yang harus dibantai, barangkali hal tersebut merupakan sebuah gaya sastra ketimbang fakta sejarah yang sesungguhnya. Perang-perang suci sebagaimana dilaporkan dalam Yosua dan kitab-kitab lainnya barangkali sesungguhnya merupakan sebuah peringatan yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi tahun 550 S.M.

Orang-orang Yahudi pada tahun itu, misalnya, tergoda untuk kawin-mawin dengan orang-orang asing dan menerima dewa-dewa kafir mereka. Penyusun sejarah Ulangan mungkin ingat kisah-kisah penaklukan yang dilakukan oleh Yosua dan para penerusnya. Mereka mengingat kembali khususnya cerita-cerita rakyat yang mengagungkan Allah dengan kisah kemenangan orang-orang Yahudi dan panghancuran musuh secara paripurna. Mereka melihat bahwa baik kemenangan dan pembasmian musuh itu sebagai datang secara langsung dari pertolongan Allah Mereka menceritakan kembali kisah ini untuk mengingatkan orang-orang Yahudi tahun 550 S.M. agar berhati-hati dengan ajaran-ajaran kafir. Peringatan mereka mungkin seperti ini :”Menjauhlah dari kekafiran. Para leluhur kita telah melakukan hal itu. Sesungguhnya mereka mendapat perintah keras dari Allah untuk membasmi orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya. Tetapi bagi kita paling tidak, mengindari mereka.”

Bila kita berpaling kepada Yesus, kita melihat alasan yang lebih maju perihal penafsiran tersebut. Yesus tidak pernah menganjurkan membasmi umat manusia. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus menyuruh Yosua membantai dengan mata pedang orang-orang yang tidak bersalah baik pria, wanita, maupun anak-anak. Kita sebaiknya tidak percaya bahwa Allah memberikan perintah membunuh seperti itu dalam jaman Perjanjian Lama. Yang paling mungkin adalah bahwa peristiwa-peristiwa pembantaian seperti dalam Kitab Yosua tidak terjadi sebanyak yang digambarkan. Jika mereka melakukan itu, karena terjadi kesalahan persepsi dan kelemahan manusia ketimbang hal tersebut merupakan perintah langsung dari Allah.

Kita tidak meragukan inspirasi Kitab Suci ketika kita dihadapkan pada pertanyaan apakah Allah sesungguhnya memerintahkan perang suci dan pembantaian secara sistematis terhadap orang-orang tidak berdosa. Kita dapat mengatakan bahwa Kitab Suci secara akurat mencatat pandangan orang-orang Israel pada masa lalu, tetapi persepsi itu keliru. Pesan-pesan yang diilhami, yang dimaksudkan oleh para penulis Kitab Suci adalah bahwa Allah tidak memerintahkan penghancuran orang-orang kafir, namun supaya para pembaca Kitab Suci tidak terjebak pada kekafiran.

Kita sebagai orang modern telah membaca pesan-pesan yang mirip dengan pesan-pesan Ulangan yang terjadi dalam sejarah kita sendiri. Beberapa waktu lalu, orang-orang Amerika melihat peperangan terhadap orang-orang Indian pada abad sembilan belas sebagai tugas suci membasmi bangsa barbar sebagai pembuka jalan bagi orang-orang beradab. Baru belakangan ini bangsa Amerika mulai berpikir kembali mengenai sejarahnya dan sampai kepada pemahaman bahwa Allah tidak mungkin mengijinkan pembantaian manusia tidak berdosa di kedua pihak dalam konflik tersebut. Membaca kitab-kitab sejarah dalam Perjanjian Lama merupakan kesempatan bagi kita untuk melihat kembali kepada jaman itu ketika kita dengan ceroboh beranggapan bahwa Allah senantiasa ada di pihak kita, baik di dalam konflik-konflik internasional ataupun kejadian sehari-hari dengan kerabat, tetangga, atau pun rekan sekerja.

Baca Yosua 3 untuk memperoleh penjelasan tentang masuknya bangsa Israel ke Tanah Terjanji. Para ilmuwan beranggapan bahwa sungai Yordan kadang-kadang kering karena dipenuhi oleh tanah longsor dan karena peristiwa tanah longsor tersebut memungkinkan bangsa Israel menyeberang melalui tanah yang kering. Apa pun realitas sejarahnya, kisah tersebut menunjukkan kepada bangsa Israel bahwa Allah bersama Yosua sebagaimana Allah bersama Musa ketika menyeberangi Laut Merah empat puluh tahun sebelumnya.

Baca juga Yosua 6 untuk memperoleh gambaran mengenai kisah penghancuran kota Yeriko. (Anda diharapkan melihat kembali ke Yosua 2 untuk memperoleh latar belakang mengenai Rahap). Baca Yosua 24, di sini kita akan memperoleh laporan mengenai saat-saat akhir hidup Yosua, pembaruan janjinya kepada Allah, dan kematian serta pamakamannya.

Kitab Hakim-Hakim

Banyak bangsa melihat kembali kepada masa-masa perjuangan mereka, masa ketika bangsa tersebut mencari wilayah-wilayah baru atau meperjuangkan dan mempertahankan wilayah dari serbuan bangsa lain. Pada saat-saat perjuangan seperti itulah biasanya kumudian muncul individu-individu yang mampu mengatasi halangan-halangan besar guna menciptakan pemukiman bagi keluarga dan kelompoknya. Bagi bangsa Israel, masa-masa perjuangan itu adalah jaman Hakim-hakim, kira-kira seratus limapuluh tahun setelah kematian Yosua dan awal munculnya nabi Samuel.

Hakim-hakim itu bukanlah ahli-ahli hukum, tetapi para pahlawan baik pria maupun wanita yang menyelamatkan bangsa Israel dari pelbagai kesulitan. Kitab Hakim-Hakim dipenuhi oleh prinsip-prinsip Ulangan yang mengatakan bahwa ketidak-patuhan akan Allah membawa malapetaka dan sebaliknya kepatuhan kepada Allah akan menghasilkan berkah karena Allah berkenan akan hal itu. Menurut Kitab Hakim-hakim, ketika bangsa Israel berpaling dari Tuhan, maka bangkitlah murka TUHAN terhadap orang Israel. Ia menyerahkan mereka ke dalam tangan perampok dan menjual mereka kepada musuh di sekeliling mereka, sehingga mereka tidak sanggup lagi menghadapi musuh mereka. Setiap kali mereka maju, tangan TUHAN melawan mereka dan mendatangkan malapetaka kepada mereka, sesuai dengan apa yang telah diperingatkan kepada mereka oleh TUHAN dengan sumpah, sehingga mereka sangat terdesak (Hak 2:14-15). Ketika bangsa Israel bertobat, TUHAN membangkitkan seorang hakim bagi mereka, maka TUHAN menyertai hakim itu dan menyelamatkan mereka dari tangan musuh mereka selama hakim itu hidup; sebab TUHAN berbelas kasihan mendengar rintihan mereka karena orang-orang yang mendesak dan menindas mereka (Hak 2:18).

Jaman Hakim-hakim adalah masa yang penuh dengan kekerasan yaitu ketika bangsa Israel berperang dengan musuh-musuhnya untuk mempertahankan hidup. Cerita-cerita yang dimuat di Kitab Hakim-hakim mungkin didasarkan pada pristiwa-peristiwa sejarah, kendati beberapa kisah, utamanya yang berkaitan dengan Samson diwarnai dengan cerita-cerita rakyat dan legenda. Di dalam Hakim-hakim, pembaca akan menjumpai kisah-kisah penuh intrik dan pembunuhan (Hak 3:15-30), penipuan dan penghilangan nyawa (Hak 3), perang (Hak 6-8), penghianatan dan pembunuhan atas saudara sendiri (Hak 9), sumpah mati (Hak 11), perang saudara (Hak 12), pencurian, pengkhianatan, dan bunuh diri (Hak 13-16). Bisa juga kita jumpai tambahan-tambahan cerita mengenai suku-suku Dan dan Benyamin (Bab 17-21) yang bahkan lebih mengerikan ketimbang yang terdapat pada Bab 1-16. Seluruh kitab diwarnai dengan gambaran mengerikan dari sisi kemanusian yang paling buruk. Dan itulah yang terjadi jika manusia berpaling dari Allah.

Apa yang bisa kita pelajari dari kitab Hakim-hakim ini? Barangkali pelajaran yang paling penting dari kitab ini adalah bahwa kemanusiaan senantiasa memerlukan keselamatan. Jika dibiarkan, kemanusiaan akan runtuh menjadi sebuah karikatur yang mengerikan. Kita telah melihat pelajaran-pelajaran semacam itu berulang kali dalam sejarah masa kini yang terjadi pada bangsa-bangsa di abad duapuluh yang berjuang membangun sebuah masyarakat tanpa Ketuhanan dan justru berakhir dengan perang atau penghancuran diri sendiri. Pada kitab Hakim-hakim, kita menyaksikan bahwa kita memerlukan Tuhan.

Baca Hakim-hakim 15-16 dua bab paling akhir dari cerita Samson. Di sana dikisahkan bagaimana keserakahan, kesombongan, dan ketidak-patuhan mampu merombak kekuatan menjadi kelemahan dan menenggelamkan kesenangan, kekuatan, dam harta duniawi di bawah tumpukan rongsokan.

Kitab Rut

Kitab Rut diletakkan sesudah kitab Hakim-hakim adalah sebuah narasi yang bukan merupakan bagian dari sejarah Ulangan. Kitab Rut merupakan cerita pendek yang mungkin mempunyai landasan sejarah. Ia mengajarkan hakekat keindahan cinta, kesetiaan, dan pengabdian. Kitab ini ditempatkan setelah Hakim-hakim sebab kisah ini terjadi “pada masa ketika hakim-hakim memerintah” (Rut 1:1) dan karena ia menyajikan secara rinci mengenai kakek-buyut Raja Daud, dengan demikian Rut menyajikan sebuah jembatan antara jaman Hakim-hakim dan masa kerajaan Israel. Keindahan cinta, kesetiaan, dan pengabdian yang terpancar dari kitab Rut ini menghadirkan sebuah perbedaan yang tajam jika dibandingkan dengan kemerosotan Hakim-hakim dan kelemahan-kelemahan kemanusiaan yang terjadi pada kitab-kitab selanjutnya.

Muncul pelbagai pendapat mengenai bentuk sastra dan waktu penulisan kitab Rut. Hal-hal semacam ini tidak perlu harus dipecahkan bagi kita guna mempelajari pelajaran yang Allah inspirasikan kepada penulisnya yaitu untuk membagi cinta, kesetiaan, dan pengabdian kepada Allah dan keluarga.

Baca Rut 1-4. Cerita tersebut pendek tapi sangat menarik. Ungkapan kesetiaan Rut kepada ibu mertuanya, Naomi, kerap dibacakan di dalam upacara-upacara perkawinan dan barngkali dapat digunakan untuk mengungkapkan komitmen kepada anggota keluarga setiap saat.

Kitab 1 dan 2 Samuel

Kitab-kitab Pertama dan Kedua Samuel dinamakan dimikian karena diambil dari nama nabi Samuel, yang sepanjang hidupnya menjadi saksi berakhirnya periode Hakim-hakim dan dimulainya jaman kerajaan Israel. Kitab-kitab tersebut sejatinya berasal dari pelbagai sumber, termasuk kisah-kisah kuno mengenai Tabut Perjanjian, beberapa cerita mengenai Samuel, Saul dan Daud, serta sebuah tulisan yang berbobot mengenai sejarah keluarga Daud (2 Sam 9-20). Para ahli berpendapat, 1 dan 2 Samuel ditulis dari sumber-sumber tersebut di atas kira-kira tahun 620 S.M. dan disunting menjadi bentuk seperti sekarang kira-kira tahun 550 S.M.

Kitab-kitab 1 dan 2 Samuel bukan merupakan sejarah yang menjelaskan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian secara berkesinambungan melalui cara yang sistematis. Sejatinya kitab-kitab tersebut merupakan kumpulan dari kisah-kisah mengenai pelbagai macam episode dan beragam kepribadian. Kitab-kitab tersebut ditulis pertama-tama untuk menjelaskan teologi Ulangan (Deuteronomist). Dengan demikian, seyogianya kitab-kitab tersebut dikelompokkan sebagai sejarah keselamatan. Namun demikian, kitab-kitab tersebut memuat data-data sejarah yang dapat dipertanggung-jawabkan, misalnya peristiwa-peristiwa yang menggambarkan mulai berkuasanya raja Daud, saat sebuah lembaga pengadilan dibentuk dan catatan-catatan mengenai pelbagai hal penting disimpan.

Kitab-kitab tersebut diawali dengan kisah kelahiran Samuel. Oleh orang tuanya, Samuel dipersembahkan sepenuhnya kepada Tuhan dan pemuda Samuel tinggal di komplek pemujaan di Shiloh, kira-kira 25 kilometer sebelah utara yang kemudian disebut dengan Yerusalem. Ketika itu, Eli adalah imam di Shiloh tetapi karena usianya yang sudah lanjut dan anak-anaknya yang lemah yang memberikan pelayanan di tempat pemujaan itu sangat mengganggu kewibawaannya. Menurut Kitab I Samuel, karena kejahatan-kejahatan anak-anaknya Allah mengganjar keluarga Eli dengan pelbagai macam penderitaan. Setelah meninggalnya Eli dan anak-anaknya Samuel kemudian menjadi pemimpin spiritual Israel ketika Tabut Perjanjian telah menjadi simbol persatuan agama bagi suku-suku Israel dan menjadi landasan kisah-kisah lama (1 Sam 1-7).

Karena kedudukannya itu Samuel bertugas mengurapi raja pertama, Saul. Kerajaan ditandai dengan sejarah yang suram, muncul kelompok-kelompok baik yang mendukung maupun yang menentang monarki. Siapa pun yang membaca I Samuel secara menyeluruh akan menemukan bukti adanya kelompok-kelompok tersebut dan disana terbaca kisah-kisah yang berbau pertentangan atas diurapinya Saul (1 Sam 8-12).

Pada tahun-tahun awal pemerintahannnya, raja Saul cukup menggapai keberhasilan. Ia menjadi titk pusat kerjasama di antara suku-suku Israel dan membentuk tentara yang kuat yang mengalahkan msusuh-musuh Israel. Tetapi, Kitab Suci mengajarkan kepada kita, Saul mulai tidak patuh kepada Allah. Ia mengalami ketidakseimbangan mental dan senantiasa menyalahkan para pembantunya, bahkan kepada panglima tentaranya dan menantunya sendiri, Daud. Karenanya Daud terpaksa harus melakirkan diri, menjadi pemimpin kelompok prajurit yang berkelana di seputar Palestina sampai kematian Saul di dalam peperangan melawan orang-orang Filistin di Gunung Gilboa, tenggara Danau Galilea (1 Sam 3-31).

Baca I Samuel 3, di sana kita akan memperoleh gambaran bagaimana Samuel dipanggil menjadi seorang nabi. Baca I Samuel 9:1-10 : di sini kita jumpai narasi pengurapan Saul sebagai Raja oleh Samuel, dan I Samuel 10:17-24 yang merupakan pandangan bahwa pengurapan seorang raja sebagai penolakan terhadap Allah. Kemudian I Samuel 17:1-11, 32-51 memuat cerita yang begitu terkenal yaitu Daud dan Goliath. Dilanjutkan degan I Samuel 31 yang menggambarkan tragedi kematian Saul.

Sepeninggal Saul terbukan jalan bagi Daud yang diminta untuk menjadi raja bagi suku-suku keturunan Yehuda. Tetapi, suku-suku lainnya mengikuti Ishabal, putera Saul, dan selama tujuh tahun terjadi perang antara tentara Isahabal yang dipimpin oleh Abner dan pasukan Daud yang dikomandani oleh Joab. Setelah berseteru dengan Ishabal, Abner menyatakan kesetiaannya kepada Daud. Tetapi Abner dibunuh oleh Joab, dan Ishabal terbunuh. Suku-suku Israel kemudian menganggap Daud sebagai raja (2 Samuel 1:1-5).

Daud dengan cepat menaklukkan Yerusalem dan mengubahnya menjadi ibukota kerajaanya. Ia membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem, sehingga menjadikannya sebagai kota religius dan pusat politik. Tentara Daud berhasil mengalahkan bangsa Filistin dan musuh-musuh lainnya termasuk Edom, Moab, dan Ammon di sebelah selatan dan timur dan Aram-Damaskus di utara. Dengan demikian Daud mengontrol wilayah yang panjangnya tiga ratus duapuluh kilometer dan lebar seratus tigapuluh kilometer. Dan Daud terus memperkuat tentaranya, menciptakan struktur pemerintahan, dan melakukan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing. Ia membangun istana di Yerusalem dan mempersiapkan rancangan pembangunan Bait Allah. Selama empat puluh tahun Daud membentuk orang-orang yang tak bersemangat dan tidak terorganisasi menjadi sebuah bangsa (2 Sam 5:6-10:19).

Namun demikian karier Daud tidak tanpa serangkaian tragedi. Para penyunting Ulangan dari 2 Samuel melacak dosa perjinahan Daud dengan Bathsheba dan pembunuhan Uria, suami Bathsheba (2Sam 11-12). Selanjutnya Amnon, putra Daud memperkosa adik tirinya, Tamar, dan Amnon dibunuh oleh Absolom, kakak Tamar (2 Sam 13). Kendati Absolom mengasingkan diri untuk sementara waktu, ia kemudian berdamai dengan Daud dan kemudian memimpin sebuah pemberontakan yang berakhir dengan kematiannya. Pada akhirnya, rangkaian kemenangan Daud atas musuh-musuh Israel semakin memperkokoh kekuasaannya (2 Sam 14-20).

Generasi-generasi berikutnya jika melihat ke belakang, akan menganggap bahwa Daud adalah raja Israel yang paling besar. Tindak-tanduknya sungguh mengagumkan. Ia berbuat dosa, tetapi ketika nabi Natan mengingatkan dia, segera Daud bertobat dengan sungguh-sungguh. Natan berjanji pada Daud bahwa kekuatan Allah atas kerajaannya akan berlangsung selamanya (2 Sam 7:8-17). Nubuat ini menjadi sebuah harapan bagi bangsa Israel ketika sedang mengalangi kekalahan, orang-orang Yahudi kemudian mengharapkan seorang mesias, penyelamat, yang akan muncul dari kelaurga Daud dan akan mengembalikan kejayaan bangsa Israel. Harapan mereka akan mesias terpenuhi di dalam Yesus Kristus dan kerajaan abadi yang dibangunNya.

Baca 2 Samuel 5 untuk memperoleh gambaran bagaimana Daud mulai menjadi seorang raja, penaklukannya atas Yerusalem, dan kemenangannya atas orang-orang Filistin. Baca 2 Samuel 11:1-12:15 yang mengisahkan secara dramatis bagaimana Daud jatuh ke dalam dosa dan kemudian bertobat. Baca 2 Samuel 18:1-17 untuk memperoleh gambaran rinci mengenai kematian Absolom di tangan prajurit-prajurit Daud.

1 dan 2 Raja-raja

Seperti 1 dan 2 Samuel, 1 dan 2 Raja-raja berasal dari banyak sumber. (Lihat 1 Raja-raja 11:41 dan 1 Raja-raja 14 :19). Kitab-kitab itu muncul pertama kali pada tahun 620 S.M. Kitab-kitab tersebut menceritakan kisah kerajaan Israel mulai dari kematian Daud (961 S.M) sampai dengan hancurnya Yerusalem (587 S.M.). Kitab-kitab tersebut ditulis dari sudut pandang Ulangan dan menyampaikan laporan mengenai kehidupan raja-raja Israel dan Yehuda dalam artian ketaatan dan ketidak-taatan raja-raja tersebut kepada Allah. Raja-raja yang taat (sayangnya hanya sedikit) membawa berkah bagi bangsa Yahudi. Raja-raja yang tidak taat membawa bencana bagi bangsa Yahudi, mulai dari perang saudara di Israel sendiri sampai pembuangan di Babel.

Buku I Raja-raja dimulai dengan kisah rinci mengenai naiknya raja Salomo ke tampuk kekuasaan. Syukur karena rencana dari ibunya, Bathsheba, Salomo diangkat oleh raja Daud yang telah tua sebagai penggantinya. Setelah kematian Daud, Salomo bergerak cepat mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menghukum mati musuh-musuh utamanya, termasuk kakaknya, Adonia, dan jenderal tua Yoab, dan Simei, seorang bekas musuh bebuyutan raja Daud (1 Raja-raja 1-2).

Salomo telah membuktikan diri menjadi penguasa tercerahkan selama bertahun-tahun. Ia mengorganisasikan kerajaan Israel menjadi dua belas wilayah dan membangun Kenisah yang indah untuk berdoa dan bahkan membuat istana yang lebih indah bagi dirinya sendiri. Ia memperbesar jumlah tentaranya dan membangun kereta perang yang kuat. Ia mebangun kota-kota berbenteng di seluruh kerejaan dan mengembangkan wilayah pertanian di sebelah selatan Yerusalem. Kerajaannya menjadi penghubung perdagangan antara Asia dan Afrika, pusat pendidikan dan kesenian, dan menjadi bangsa yang terkenal kiarena kekuata, kemakmuran, dan pengaruhnya (I Raja-raja 3-10).

Tetapi kekuasaan, kekayaan, dan kemasyhuran telah menjatuhkan banyak penguasa, begitu pula yang terjadi dengan Salomo. Ia berusaha memperkokoh kekuasaannya dengan melakukan aliansi perkawinan dengan bangsa-bangsa asing. Untuk menyenangkan istri-istri asingnya itu, Salomo membangun tempat pemujaan bagi dewa-dewa kafir. Karena ingin terus kaya, ia membebani pajak yang berlebihan kepada rakyatnya, khususnya suku-suku utara. Dalam upaya pencarian kemasyhuran sebagai seorang pembangun, ia menggambarkan dirinya sendiri sebagai tenaga pembangun. Ketidak-senangan terhadap Salomo sebenarnya sudah lama terjadi, tetapi baru muncul ke permukaan ketika terjadi kerusuhan sipil. Ketika Salomo meninggal sekitar tahun 922 S.M. , ketegangan diperbatasan sudah mencapai tingkat yang membahayakan (1 Raja-raja 11).

Salomo digantikan oleh putranya, Rehoboam. Ketika suku-suku utara meminta keringanan atas pelbagai pungutan yang diterapkan pada masa Salomo, Rehoboam justru semakin menekan suku-suku utara tersebut. Karena semakin ditindas, suku-suku utara melepaskan diri dari Yehuda pada tahun 922 S.M dan menunjuk Jeroboam sebagai pemimpin mereka. Jeroboam dengan cepat membangun tempat-tempat ibadah di Bethel dan Dan, hal ini semakin menjauhkan suku-suku utara dari Yerusalem. Rehoboam tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan pemberontakan tersebut karena tentaranya kalah dalam hal jumlah. Persatuan yang telah dibangun Daud runtuh, dan mulailah jaman kerajaan yang terpisah : Israel di utara dan Yehuda di selatan (1 Raja-raja 12-14).

Perpecahan ini kemudian menjadi epos keruntuhan bangsa Yahudi. Kedua kerajaan saling berperang dan kemudian keduanya diserang oleh bangsa-bangsa tetangganya. Pada tahun ke-5 Rehoboam berkuasa, Yerusalem diserang Mesir dan barang-barang berharga Bait Allah dirampas (1 Raja-raja 14:25-28). Serangan Mesir tersebut mengakibatkan hancurnya kota-kota berbenteng baik di Yehuda maupun Israel. Kepemimpinan kerajaan utara dan selatan menuju titik yang paling rendah. Menurut para editor Ulangan yang menyusun I dan 2 Raja-raja, -- yang mengenal kehidupan para raja -- sebagian besar raja-raja tidak taat kepada perjanjian yang telah dibuat dengan Allah, mereka lebih memusatkan diri pada dewa-dewa mereka dan murtad terhadap Allah (1 Raja-raja 15-16).

Beberapa seri kisah tentang nabi-nabi terdapat pada 1 Raja-raja 17. Para nabi adalah mereka yang berbicara bagi Allah. Pada jaman Samuel terdapat kelompok-kelompok nabi di Israel yang mengatur peribadatan; banyak di antara para nabi itu memiliki kekuatan khusus. Nabi-nabi yang sejati akan terlihat di kemudian hari sebagai yang dipanggil Allah untuk menentang raja-raja yang menyimpang dari jalan Allah. Itulah sebabnya pada pada masa Ahab berkuasa sebagai raja Israel muncul rangkaian kisah yang bercerita tentang nabi Elia.

Ahab memegang tampuk kekuasaan sebagai raja Israel dari tahun 870 S.M. – 850 S.M. Ia menikah dengan putri raja Sidon, Jezebel, dan mendirikan mezbah-mezbah untuk dewa Baal di Samaria, ibu kota Israel. Karena dosa berhala dan kejahatan-kejahatan lainnya seperti berlaku tidak adil dan rakus akan harta benda, ia detentang oleh Elia. Perseteruan itu mencapai puncaknya ketika diadakan sayombara antara Elia dan 850 nabi-nabi kafir pendukung Jezebel di gunung Carmel. Jezebel marah besar ketika Elia membantai nabi-nabi kafir tersebut. Karena hidupnya terancam nabi Elia terpaksa melarikan diri. Dikuatkan oleh pertemuannya dengan Allah, Nabi Elia meneruskan karyanya sebagai nabi dan mengurapi penerusnya Elisa. Sementara itu Ahab meraih dua kemenangan atas Ben-hadad raja Aram (Syria), kemudian terbunuh dalam peperangan yang ke-3 (1 Raja-raja 17-22).

Kisah-kisah nabi Elia dan nabi-nabi lainnya dalam 1 dan 2 Raja-raja nampaknya didasarkan atas peristiwa-peristiwa sejarah. Kendati demikian kisah-kisah tersebut bercampur dengan pelbagai legenda dan fabel untuk tujuan pengajaran agama : Allah memelihara orang-orang yang percaya dan setia (1 Raja-raja 17 dan 19); mereka yang menyembah dewa-dewa kafir akan mengalami kematian (1 Raja-raja 18); setia kepada Allah akan memperoleh berkat dan ketidak-setiaan akan mendapat hukuman (1 Raja-raja 20-22; 2 Raja-raja 1-8).

Baca 1 Raja-raja 3 yang berisi kebijaksanaan Salomo dan 1 Raja-raja 11 yang bercerita mengenai tahun-tahun terkahir masa kehidupan Salomo. Baca 1 Raja-raja 12 berisi kisah pemisahan Israel dari Yehuda. Baca 1 Raja-raja 21 untuk memperoleh rincian mengenai pengkhianatan Ahab dan penghakiman Allah atasnya.

Tiga belas bab pertama dari 2 Raja-raja masih berkaitan dengan kisah-kisah dan legenda Elia dan Elisa serta beberapa persitiwa sejarah yang terjadi pada masa kehidupan mereka. Termasuk di dalamnya kerjasama antara kerajaan Israel, Yehuda, dan Edom yang berhasil secara militer mengalahkan bangsa Moab (2 Raja-raja 3), kemenangan Israel atas bangsa Aram (2 Raja-raja 7), pembantaian Jezebel dan seluruh keluarga Ahab oleh tentara di bawah pimpinan jenderal Yehu pada tahun 842 S.M., dan instrik-intrik politik di Israel dan Yehuda (2 Raja-raja 1-13).

Setelah kematian Elisa, beberapa tahun adalah masa kemunduran, kerusuhan sosial, peperangan yang melibatkan Israel, Yehuda, Aram (Syria), Edom, Moab, dan Amon. Kira-kira pada tahun 783 S.M. raja Amazia dari Yehuda dibunuh oleh lawan politiknya, dan anaknya yang berusia 15 tahun bernama Azaria (juga dikenal dengan Uzia) menggantikan Amazia. Cukup mengejutkan bahwa ternyata raja muda ini mampu memerintah. Selama pemerintahannya yang panjang, masa kejayaan tumbuh kembali di Yehuda, begitu pula yang terjadi di Israel di bawah raja Jereboam II (786-746 S.M.). Yehuda mengembangkan batas kerajaannya hingga jauh ke selatan dan Israel mengembangkan batas kerajaannya sampai jauh ke utara menyamai jaman raja Daud dahulu. Kota-kota berbenteng didirikan; perdagangan dikembangkan; pertanian dan kehutanan juga dikembangkan. Kedua kerajaan menikmati tahun-tahun kejayaan dan kemakmuran (2 Raja-raja 14:1-15:7).

Celakanya, ketidakadilan, keserakahan, dan tingkah-laku tak bermoral juga berkembang, khususnya di kerajaan utara. Nabi-nabi seperti Amos dan Hosea melancarkan kecaman terhadap orang-orang kaya dan berkuasa, bahkan menubuatkan kehancuran Samaria. Nubuat mereka segera terjadi. Setelah kematian Jereboam, kekacauan melanda Israel; empat dari lima raja kemudian dibunuh, dan pada tahun 734 S.M. kerajaan kuat Asyur mulai melancarkan rangkaian serangan ke Israel dan berakhir dengan kehancuran total Samaria pada tahun 721 S.M. Raja Asyur, Sargon II, mengirim lebih dari tiga puluh ribu orang Israel ke pengasingan di Mesopotamia (Irak modern) dan menetaplah pelbagai bangsa penakluk di Israel. Hal ini mengakibatkan kawin-mawin dengan orang-orang Israel dan melahirkan orang-orang berdarah campuran yang di kemudian hari dikenal sebagai orang-orang Samaria. (2 Raja-raja 15:8-17:41).

Ketika Asyur menyerang Israel, Ahaz, raja Yehuda membayar upeti kepada Asyur. Penerusnya, Hezekia (715-687 S.M.), memutuskan berhenti membayar upeti dan melancarkan pemberontakan kepada Asyur. Ia membentengi Yerusalem dan kota-kota lain, dan memberi jalan kepada rakyat yang bangkit kehidupan religinya di bawah bimbingan nabi Yesaya, dan mencoba menjalin aliansi dengan negara-negara lain. Pada tahun 701 S.M. bangsa Asyur dipimpin raja Sanherib, bergerak menuju Yudea. Mereka merampoki wilayah-wilayah seputar Yerusalem, dan kemudian mengepung kota itu. Yerusalem mendekati jurang kehancuran, ketika tiba-tiba pasukan Sanherib mengalami kekalahaan besar oleh “malaikat Allah” (2 Raja-raja 19:35), mungkin karena terkena wabah penyakit hebat. Orang-orang Asyur kemudian kembali ke negerinya, dan Yerusalem bebas dari ancaman. Tetapi sebagian besar Yehuda telah tertimbun sampah dan kotoran, dengan ribuan penduduk kota mati terbunuh atau ditangkap, Hiskia harus memulai lagi membayar upeti kepada raja Asyur hingga kematiannya pada tahun 687 S.M. (2 Raja-raja 18-20).

Putra Hizkia, Manasseh, yang berkuasa selama empat puluh lima tahun, juga membayar upeti kepada raja Asyur. Selain itu, ia menyumbangkan pasukan bagi kerajaan Asyur dan menyembah dewa-dewa kafir. Putranya, Amon, melanjutkan praktek penyembahan kepada dewa-dewa kafir, hingga ia terbunuh setelah memegang kekuasaan yang berlangsung hanya dua tahun. Tampaknya hal ini akan menjadi awal bencana, ia digantikan oleh anaknya, Yosia, yang baru berusia delapan tahun pada tahun 640 S.M. Tetapi Asyur mulai kehilangan kendali atas pelbagai wilayah. Bebas dari cengkraman Asyur, Yosia membawa Yehuda kembali kepada aktivitas religius dan melebarkan batas-batas negera ke utara, barat, dan selatan. Niniwe, ibukota Asyur, jatuh ke tangan Babel pada tahun 612 S.M., namun ketika Babel bergerak ke barat mendapat tantangan dari Mesir. Pada tahun 609 S.M., Yosia memutuskan untuk mencegat tentara Mesir di Megido. Tetapi ia terluka parah dan meninggal di Yerusalem beberapa saat kemudian (2 Raja-raja 21:1-23:30)

Empat raja Yehuda berikutnya terperangkap dalam peperangan antara Mesir dan Babel. Dengan menafikan nasehat nabi Yeremia, mereka berpihak kepada Mesir. Pada tahun 597 S.M. Nebukadnesar, raja Babel menguasai Yerusalem. Ia mengirim raja Yoyakim dan tokoh-tokoh masyarakat ke pembuangan dan mengangkat Zedekia sebagai raja boneka. Ketika Zedekia melakukan tindakan bodoh dengan memberontak pada Babel tahun 589 S.M., Nebukadnesar menyerang Yehuda dengan tentara yang besar, menghancurkan kota-kota penting, dan mengepung Yerusalem. Setelah hampir dua tahun berjuang mati-matian, Yerusalem akhirnya jatuh tahun 587 S.M. Tentara Babel memasuki kota, mendeportasi ribuan penduduknya yang masih hidup ke Babel dan kemudian mereka membakar Yerusalem. Bangsa yang dibangun oleh Saulus, Daud, dan Salomo musnah (2 Raja-raja 23:31-25:29).

Pada tahun 600 S.M. kira-kira seperempat juta orang hidup di Yehuda. Banyak yang berhasil melarikan diri ketika terjadi invasi oleh tentara Babel, mereka mengungsi hingga ke Mesir, dan membentuk komunitas Yahudi. Puluhan ribu orang Yahudi meninggal dalam peperangan, mati kelaparan, dan mati karena kejangkitan wabah penyakit. Barangkali ada sekitar dua puluh ribu orang Yahudi yang dibuang ke Babel. Karena kondisi negara yang hancur itu semakin banyak orang Yahudi berimigrasi, dan pada tahun 550 S.M., tersisa kurang dari lima puluh ribu orang yang hidup di wilayah yang dahulu di sebut Yehuda.

Mereka yang dibuang ke Babel harus berjalan lebih dari sepuluh ribu kilometer. Mereka yang selamat diperlakukan dengan cukup baik setelah tiba di Babel. Mereka diperkenankan hidup dalam komunitas Yahudi dan diijinkan untuk bertani atau melakukan aktivitas perdagangan. Mengingat Nebukadnesar membuang orang-orang Yahudi yang berpendidikan, terampil, dan memiliki pengaruh ketika di Yehuda, maka orang-orang Yahudi di Babel termasuk kelompok yang berhasil dan beberapa mencapai sukses dan menjadi kaya. Banyak dari mereka yang tertarik kepada warisan budaya Yahudi. Dan para pemimpin agama dan intelektual mulai mengumpulkan tulisan-tulisan kuno menjadi bagian-bagian yang kemudian kita kenal sebagai Perjanjian Lama.

Baca 2 Raja-raja 2 mengenai legenda Elia dan Elisa. Tidak sebagaimana apa adanya, persitiwa yang terjadi merupakan hasil rekaman, namun hal tersebut dimaksudkan sebagai ajaran bagaimana harus menghormati nabi. Terutama kisah mengenai anak-anak dan beruang yang barangkali dalam hal ini tidak sesuai dengan perasaan modern kita. Tetapi ini hanyalah cerita yang biasanya didongengkan oleh seorang kakek kepada anak-anak nakal yang kurang ajar kepada orang tua. Kita bisa mendengarkan ancaman sang kakek : “Kamu jangan bicara seperti itu. Lihat apa yang terjadi pada beberapa anak nakal yang memanggil nabi Elisa kepala botak.” Baca 2 Raja-raja 25 berkisah tentang runtuhnya Yerusalem.

Pembaca modern dapat belajar banyak lebih dari sekadar fakta-fakta sejarah dari kitab-kitab Samuel dan Raja-raja. Sepanjang karir Samuel, Saul, Daud, dan para penerusnya, kita menyaksikan bagaimana ketidak-taatan kepada Allah berakibat kesengsaraan. Kita menyaksikan bahwa kekuasaan yang disalah-gunakan akan menghancurkan masyarakat dan orang per orang. Kita juga diingatkan bahwa keinginan-keinginan yang tanpa batas bisa menghancurkan keluarga dan kehidupan itu sendiri. Dengan mengikuti pelajaran-pelajaran ini, kita bisa menghindar dari nasib buruk dan penderitaan.

Pertanyaan untuk Diskusi dan Renungan

Teologi Deuteronomi (Ulangan) mengatakan bahwa kebaikan mendapat pahala dan kejahatan memperoleh hukuman. Sejauh mana teologi ini benar? Dalam hal apa teologi ini kurang lengkap? Jika benar bahwa penderitaan datang ke dunia pasti sebagai akibat dari dosa, apakah juga benar bahwa penderitaan dari seorang pribadi tertentu pasti sebagai hasil dari dosa pribadi? Teologi Deuteronomi (Ulangan) dan ajaran para nabi menyalahkan pelbagai malapetaka dan kesengsaraan di Israel atas dasar fakta bahwa pemerintahan, dunia bisnis, dan kehidupan sosial bangsa Israel tidak bersandar kepada Allah. Apakah negara kita dewasa ini kondisinya menyerupai Israel pada masa itu? Berapa banyak pertunjukan televisi yang mencerminkan kepatuhan dan kepercayaan kepada Allah? Apakah televisi-televisi keluarga melakukan doa dan menyandarkan diri kepada kehendak Allah dalam mengambil keputusan? Sejauh mana ketidak-bertuhanan di dalam media mempengaruhi cara berpikir bangsa? Apa yang anda bisa lakukan mengenai hal ini di rumah, keluarga, dan lingkungan sahabat anda?

Aktivitas

Bandingkan tahun-tahun awal Israel dengan masa-masa permulaan bangsa kita sendiri. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, terdapat sebuah masa yang dikenal dengan masa perjuangan, mengusahakan tanah yang sudah diduduki oleh bangsa lain, penggabungan tiga belas negara, pembentukan bangsa, perang saudara antara utara dan selatan, dan lain-lain. Bandingkan beberapa pahlawan bangsa baik pria maupun wanita dengan para pahlawan kuno di Israel. Carilah kesamaan-kesamaan lain yang akan membantu anda memahami sejarah Israel dan sejarah bangsa kita sendiri.

Monday, October 09, 2006

Bab Empat : Memasuki Perjanjian Lama : Dari Adam Sampai Musa

Wayne dan Rita mendengar celoteh anak-anak mereka sepanjang perjalanan pulang dari kunjungan Natal ke rumah orang tua Rita. Anak-anak itu mengulangi apa yang diceritakan kakek tentang masa lalu dan mulai bertanya kepada orang tua mereka mengenai nenek-moyang mereka.

Penasaran oleh keinginan anak-anak mereka tentang masa lalu, Wayne dan Rita memutuskan untuk mulai mempelajari sejarah keluarga mereka. Mereka meminta orang tua mereka mencatat sejarah dan riwayat masa lalu keluarga mereka. Mereka mulai melacak silsilah keluarga. Wayne dan Rita membawa anak-anak mereka ke gereja di mana keluarga mereka dipermandikan dan melihat makam saudara-saudara mereka. Orang tua dan anak-anak sama-sama menyukai tulisan-tulisan surat kabar tua dan catatan pengadilan mengenai transaksi-traksaksi tanah.

Suatu saat, Rita dan Wayne harus melacak asal mereka ke German. Mereka mendapati bahwa moyang mereka meninggalkan Eropa pada tahun 1849 guna menghindari penganiayaan agama, mengalami susahnya pelayaran menyeberangi Atlantik, menyusuri sungai Ohio dengan perahu, dan akhirnya menetap di Kentucky.

Dengan menyelidiki masa lalu mereka, mereka menemukan sebentuk penghormatan baru terhadap iman Katolik mereka dan Amerika sebagai daerah pengharapan. Mereka memperoleh suatu pandangan baru tentang arti keluarga. Mereka berbicara mengenai nilai-nilai yang dianut nenek-moyang mereka yang masih terpelihara dan arti nilai-nilai tersebut bagi mereka. Silsilah keluarga mereka menjadi suatu kehidupan baru mengingat ia sekarang kokoh berakar dari masa lalu.

Akar-akar Spiritualitas Keluarga Kita

Di jaman dunia yang begitu cepat berubah, orang dapat dipastikan akan mencari kestabilan dan kepastian yang datang dari akar budaya dan keluarganya. Kita sebagai orang Katolik mempunyai akar budaya yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar catatan-catatan pengadilan atau batu-batu kuburan. Kita dapat melacak spiritualitas nenek-moyang kita kembali kepada tradisi-tradisi kuno jaman Perjanjian Lama.

Jika kita memperhatikan kitab-kitab Perjanjian Lama sebagai catatan sejarah keluarga kita sendiri, kita akan menemukan sebuah kunci yang akan menyingkap kekayaan yang terbesar dari Kitab Suci. Catatan-catatan itu tidak hanya sekadar cerita-cerita dari masa lalu, daftar nama-nama, dan hukum-hukum atau aturan-aturan kuno. Semua itu adalah sejarah keluarga kita, nama-nama leluhur di dalam iman, dan rincian yang menceritakan bagaimana keluarga kita pernah hidup. Jika kita memandang Perjanjian Lama dengan antusiasme yang sama siapapun akan merasa sedang melihat ke dalam kekayaan keluarga masa lalu.

Membaca Perjanjian Lama

Salah satu tujuan dari buku ini adalah membantu para pembacanya “membaca” Kitab Suci dengan menyediakan sebuah pemandu perjalanan dengan latar belakang informasi dan perikop-perikop terpilih dari Kitab Suci. Informasi dan pilihan-pilihan tersebut akan dibatasi agar buku ini memiliki ukuran yang pas (tidak terlalu tebal dan juga tidak terlampau tipis). Jika para pembaca ingin mendapat penjelasan yang lebih rinci, bisa memperolehnya dari tafsir dan penjelasan Kitab Suci. (Lihat Daftar Pustaka)

Kita mulai dengan pengantar kepada Pentateuck, kemudian berpindah kepada kitab-kitab dari Kitab Suci, mengikuti urutan yang terdapat dalam New Revised Standard Version of The Bible. (Catatan Penterjemah : untuk terjemahan bahasa Indonesia urutan yang sama dengan New Revised Standard Version of The Bible dapat pembaca jumpai pada Kitab Suci Katolik (Alkitab Katolik Deuterokanonika) Percetakan Arnoldus Ende, tahun 2001 diterbitkan oleh Ditjen Bimas Katolik, Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA).

Pentateukh

Para pnyunting yang menyusun Pentateukh -- lima kitab pertama dari Kitab Suci, kira-kira lima ratus lima puluh tahun sebelum Kristus --, bermaksud memberikan kemantaban dan kepastian kepada orang-orang Israel. Orang-orang Israel pada waktu itu tercerabut dari akarnya dan diasingkan oleh orang-orang Babel. Mereka yang kembali ke Israel dibujuk untuk meninggalkan Allah dan berpaling kepada dewa-dewa orang kafir. Mereka tertarik oleh mitos-mitos kafir yang menganggap bahwa kejahatan dan kekacauan menentukan nasib manusia.

Para penyunting berkeinginan untuk mengembalikan orang-orang Israel dari kekeliruan tersebut dan kembali kepada tradisi kokoh yang diwariskan oleh Abraham dan Musa. Para penyunting mencatat kisah-kisah yang kerap diceritakan para leluhur mereka yang telah mengikuti kehendak Allah. Mereka mengajarkan bahwa Allah itu ada, Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu, dan kejahatan bukan berasal dari Allah tetapi sebagai hasil konsekwensi dari pilihan dosa yang dilakukan oleh manusia.

Dalam pada itu, kita senantiasa dihadapkan pada pencobaan seperti yang dihadapi bangsa Israel kuno. Kita digoda untuk meremehkan iman kita sebagai ketinggalan jaman, untuk menyembah ilah-ilah palsu seperti : materialisme, seks, dan sekularisme, untuk takut kepada setan yang memiliki kekuasaan menghancurkan segala sesuatu yang baik, indah, dan sempurna.

Pentateukh mewartakan kepada kita, sebagaimana kepada generasi-generasi terdahulu, bahwa Allah sungguh-sungguh ada, kebaikan akan mengalahkan kejahatan, kita dapat melangkah dengan aman mengikuti jalan yang dipilih oleh pendahulu kita. Pentateukh masih relevan bagi kita hingga hari ini, sebab ia merupakan catatan keluarga kita di masa lalu, diinspirasi Allah, dan menjawab hampir semua pertanyaan mendasar mengenai kehidupan.

Kitab Kejadian : 1-11

Kejadian adalah sebuah kitab yang bagi orang-orang Israel berfungsi sebagai pengingat asal-usul keluarga mereka melalui garis keturunan Abraham, Ishak, dan Yakob, dan lebih dari itu ia merupakan kitab yang mencatat asal mula alam semesta dan membahas apa arti hidup itu bagi manusia. Sekarang, buka Kitab Suci-mu dan bacalah Kejadian 1:1-24.

Perikop dari kitab Kejadian ini adalah berasal dari tradisi Imam dan kitab ini barangkali digunakan untuk pemujaan di rumah ibadat (Kenisah). Kitab ini menggambarkan pemahaman orang Yahudi akan sebuah dunia yang merupakan bangunan datar ditopang oleh pilar-pilar di atas lautan dan langit sebagai mangkuk terbalik dengan jendela-jendela sebagai jalan masuk air hujan dan salju. Dalam perikop itu pun kita menemukan beberapa pengulangan frasa yang dimaksudkan sebagai mempermudah mengingat, seperti : “Berfirmanlah Allah,” “Dan jadilah demikian,” “Allah melihat semuanya itu baik,” “Jadilah petang dan jadilah pagi.” Bangunan tujuh hari memiliki pola puitik, dimaksudkan untuk mengajarkan kesucian hari Tuhan, karena bagi Tuhan pun memerlukan istirahat setelah enam hari bekerja!

Bangunan tujuh hari itu juga melukiskan saling keterkaitan antar hari, berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah mengingat. Hari pertama, ketika Allah menciptakan terang berhubungan dengan hari ke empat ketika Allah menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang. Hari kedua, ketika Allah menciptakan cakrawala yang memisahkan air yang di atas cakrawala dengan air yang di bawah cakrawala berkaitan dengan hari ke lima, ketika Allah menciptakan burung-burung yang terbang di bawah langit dan ikan yang berenang di laut. Hari ketiga, ketika Allah menyebabkan dataran mengering dan menumbuhkan tanaman, berhubungan dengan hari ke enam, ketika Allah menciptakan binatang dan manusia yang hidup di tanah dan makan tanaman.

Perhatian khusus diberikan pada penciptaan manusia. Allah berfirman, “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Makna dari kalimat ini menjadi bahan perdebatan para ahli. Salah satu pendapat adalah bahwa “baiklah kita” mungkin merupakan sebuah bentuk jamak bagi penghormatan (berkaitan dengan kekuasaan, seperti seorang raja), yang dapat diartikan sebagai pernyataan keseriusan Allah untuk melakukan sesuatu yang istimewa (khusus). “Menurut gambar dan rupa Kita” barangkali mengacu kepada fakta bahwa manusia telah menguasai bumi sebagai wakil Allah dan dipanggil untuk memelihara dunia yang telah diberikan kepada kita.

Berlawanan dengan mitos kafir pada masa itu, kisah penciptaan tersebut mengajarkan bahwa hanya satu Allah yang menciptakan segala sesuatu. Penciptaan tidak berasal dari peperangan antara dewa baik dan jahat yang hanya merupakan satu bagian dari hakikat dasar kehidupan.

Jika kita cermati, pesan-pesan tersebut masih memiliki nilai kebenaran bagi kita dewasa ini. Alam semesta tidak berasal dari sesuatu yang tidak ada. Organisasi alam semesta tidak dapat terjadi hanya dengan suatu kecelakaan akibat benturan antar atom. Allah sungguh ada. Allah yang menciptakan alam semesta. Kita manusia ada bukan karena kebetulan tetapi ciptaan yang berharga, sebab kita adalah milik Allah yang mewakiliNya di bumi. Bab pertama dari Kejadian tidak menyajikan sebuah kisah ilmu pengetahun tentang penciptaan (hal ini belum dikenal pada waktu Kejadian disusun), tetapi mengajarkan kebenaran religius dalam bahasa yang penuh dengan kekuatan dan keindahan.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kejadian tidak bertentangan dengan teori-teori ilmu pengetahuan modern, termasuk di dalamnya teori evolusi, sepanjang hal-hal tersebut tidak menolak keberadaan Allah dan fakta bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Kejadian menitik beratkan pada hal-hal religius, seperti mengapa terjadi penciptaan dunia? Sedangkan ilmu pengetahuan modern berangkat dari pengamatan, bagaimana dunia itu diciptakan? Adalah sangat mungkin bahwa di dalam kehendak Allah, evolusi bisa saja terjadi atas ciptaan Allah. Kejadian mengajarkan bahwa dengan cara bagaimana pun alam semesta mewujud menjadi ada, ia berasal dari cinta dan kebijaksanaan Allah.

Baca Kejadian 2:4-3:24. Perikop ini berisi kisah penciptaan bagian ke dua yang berasal dari sumber Yahwis. Terdapat ketidak-konsistensian antara kisah penciptaan bagian pertama dan kedua. Misalnya, manusia diciptakan setelah penciptaan binatang-binatang di bagian pertama, tetapi di bagian ke dua manusia diciptakan sebelum binatang. Para penyunting terakhir tidak begitu menaruh perhatian pada perbedaan tersebut, hal ini menjadi sebuah fakta tersendiri bahwa mereka tidak berusaha untuk menghadirkan penjelasan ilmiah mengenai proses penciptaan. Mereka menyertakan kedua kisah tersebut sebab masing-masing telah menjadi warisan kekayaan di dalam komunitas Yahudi pada masa itu, dan masing-masing kisah secara khusus menekankan kebenaran religius.

Keheranan orang-orang dulu, sebagaimana kita dewasa ini, adalah mengapa dunia penuh dengan dosa, penderitaan, sakit, dan kematian. Kisah penciptaan bagian dua, dengan bahasa yang penuh dengan simbol-simbol serta menukik ke dalam kondisi kemanusiaan membahas permasalahan tersebut. Kisah bagian dua ini tidak hanya menjalin cerita manusia-manusia pertama di bumi tetapi mengisahkan tentang kita semua.

Allah telah menganugerahkan kepada kita kehidupan di dunia yang dapat dianggap sebagai surga. Kita dianugerahi kebebasan dan kecerdasan serta dipanggil untuk berjalan berdampingan dengan kasih Allah. Kita diberi kesempatan melakukan komitmen iman di dalam perkawinan dan bersama-sama dengan Allah menciptakan kehidupan baru. Kita dituntut menggunakan kebebasan itu dengan seksama, memilih apa yang oleh Allah dinyatakan sebagai baik dan menghindari apa yang dinyatakan Allah sebagai jahat. Tetapi manusia-manusia pertama telah makan buah dari “pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat.” Dibujuk oleh setan (dalam wujud seekor ular, simbol yang biasanya terdapat pada masyarakat kafir), mereka berkata kepada Allah: “Engkau tidak perlu memberitahu apa yang harus kita lakukan. Kita akan menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat.” Melalui pilihan mereka, dosa datang ke dalam dunia dan menciptakan tembok penghalang antara kita dan Allah. Karena dosa, kita menjadi bisa menderita dan mati, timbul ketegangan dalam hubungan antar manusia, lelah dan jenuh dalam bekerja, mengalami rasa sakit ketika melahirkan. Apa yang dulunya surga menjadi sebuah dunia di mana kita bisa mengalami kematian dan penderitaan, tenggelam ke dalam ketidak-berdayaan dimana keselamatan dapat diperoleh hanya dari Allah, yang bahkan pada saat yang terburuk pun berjanji akan meremukkan kepada ular dan mengalahkan kejahatan.

Dalam lanjutan Kejadian 4-11, lebih merupakan bahasan yang membenarkan bahwa dosa cenderung meningkat dalam mencengkeram kehidupan manusia. Seperti halnya Kain, manusia mengiyakan bahkan ketika diminta membunuh sesama anggota keluarga manusia. Kita terjerumus ke dalam lumpur dosa di mana hanya Allah saja yang dapat menyelamatkan kita. Kita menjadi terasing dari Allah, dari kita sendiri, dan dari satu dengan lainnya sehingga seluruh dunia sepertinya telah menjadi sebuh Menara Babel.

Abraham : Kejadian : 12-25

Sebelas bab pertama dari Kejadian menunjukkan bahwa manusia bergerak menjauh dari Allah. Namun pada penghujung bab 11, seorang pria diperkenalkan, yang akan mengajak manusia kembali kepada Allah. Orang itu adalah Abraham, putra Terah, yang kira-kira pada 1900 SM bersama dengan keluarganya melakukan migrasi dari Ur (Irak modern) ke Haran (sebuah kota perbatasan Turki-Suriah modern). Setelah kematian Terah, Abraham mendengar Allah memanggilnya untuk menempati daerah baru dan berjanji akan menjadikannya sebuah bangsa yang besar. Abraham segera menuruti panggilan itu itu, membawa istrinya Sirai, keponakannya, Lot dan seluruh harta miliknya ke tanah Kanaan (Israel moderen). Dalam penampakan selanjutnya, Allah memperbarui janjinya menjadi sebuah sumpah, mengganti namanya dari Abram menjadi Abraham dan Sirai menjadi Sarah, dan memberkati mereka dengan anak laki-lakinya, Ishak.

Kejadian 12-25 menghadirkan kisah penuh warna tentang Abraham dan keluarganya. Para ilmuwan memperdebatkan kebenaran sejarah dari kisah-kisah tersebut, namun demikian tidak diragukan lagi bahwa Kejadian mengetengahkan Abraham sebagai sebuah model iman, sebagai nenek moyang orang Israel, sebagai seorang yang Allah sendiri menjanjikan tanah yang kemudian diklaim oleh orang-orang Israel.

Sekarang baca Kejadian 12:1-9, Kejadian 15:1-17:27, Kejadian 21:1-8, dan Kejadian 22:1-9. Pada perikop-perikop itu, iman Abraham kepada Allah masih mendapat penekanan. Juga upacara sumpah, dengan memotong hewan yang dipraktekkan di Timur Tengah pada waktu itu. Para pelaku sumpah berjalan di antara potongan-potongan hewan untuk menunjukkan bahwa mereka akan menemui nasib seperti hewan-hewan tersebut jika mereka melanggar sumpah. Kisah Abraham yang dipanggil Allah untuk mengorbankan putranya menunjukkan betapa dalamnya iman Abraham. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjunjukkan kepada orang-orang Israel (yang hidup di tengah orang-orang kafir yang mempraktekkan pengorbanan manusia) bahwa Allah menghendaki korban hewan daripada korban manusia.

Sebelum Abraham meninggal, putranya Ishak menikahi Rebeka, masih tergolong cucu keponakan Abraham dan oleh karena itu sesuai hukum pada waktu itu, dan cocok untuk pasangan Ishak. Melalui Ishak janji Allah kepada Abraham akan terpenuhi.

Ishak, Yakub, dan Anak-anak Yakub : Kejadian 25-36

Ishak dan Rebeka mempunyai dua anak kembar, Yakub dan Esau (Kej 25:19-34). Anak-anak itu kemudian bersaing satu dengan lainnya. Yakub membuat tipu muslihat sehingga memperoleh hak kesulungan ayahnya, dan Ishak memberikan berkat kepadanya bukan kepada Esau. Beberpa kisah seputar Yakub masih diketengahkan dalam Bab 25-36 ini, kebanyakan berkisar mengenai ketrampilan tangan Yakub. Beberapa kisah berdasarkan dari cerita rakyat setempat. Kisah-kisah itu diolah kembali dari mitos-mitos dan legenda-legenda kuno, dengan memberi keterangan tentang nama-nama tempat dan asal-usul bermacam-macam tradisi.

Yakub pergi ke Haran guna mencari seorang istri dan akhirnya mengawini dua orang putri pamannya, Laban. (Poligami -- memiliki banyak istri --, merupakan hal yang lumrah dipraktekkan masyarakat kuno pada waktu itu dan juga raja-raja Istrael hingga abad ke-5 SM). Istri-istri dan pembantu-pembantu perempuannya menjadi ibu dari dua belas anak Yakub, nenek moyang dua belas suku Israel. Dua kisah berbeda (Kej 32:29 dan Kej 35:10) menceritakan nama Yakub diubah menjadi Israel oleh Allah, yang kemudian menjadi nama dari orang-orang keturunan Yakub. Suatu ketika, Yakub kembali beserta keluarganya ke Kanaan dan berdamai dengan Esau.

Baca Kejadian 25:19-34, Kejadian 27:1-45, Kejadian 33:1-20, dan Kejadian 35:9-15. Perikop-perikop ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa utama dalam kehidupan Yakub dan menunjukkan betapa Allah tetap setia pada janji yang telah dinyatakan kepada kakek Yakub, Abraham. Kisah Yakub merampas hak kesulungan milik Esau, dan Ishak memberkati Yakub memiliki makna bagi Esau bahwa Allah dapat memakai bahkan para pendosa guna memenuhi kehendak ilahiNya. Ini bukan berarti Allah menghendaki para pendosa tersebut, melainkan bahwa Allah dapat mengarahkan kembali para pendosa tersebut ke jalan yang benar – dalam hal ini, pemenuhan janji Allah kepada Abraham. (Lihat Kej 35:9-12). Pelajaran yang dapat kita petik: Allah sanggup membawa kebaikan dari hal-hal yang jahat, bahkan dari kesalahan masa lalu kita, bila kita kembali kepada Allah dengan iman dan kepercayaan.

Yusuf : Kejadian 37-50

Kisah Yusuf, yang menjadi penutup Kejadian, mengetengahkan pelajaran yang hampir sama. Yusuf sangat bergantung kepada Allah dalam situasi yang paling buruk sekali pun, dan Allah merubah bencana itu menjadi kemenangan berulang-ulang.

Ketika Yusuf dijual menjadi budak oleh kakak-kakaknya, ia kemudian menjadi seorang pembantu yang berhasil. Ketika ia menolak godaan istri tuannya, ia menerima tuduhan palsu dan dijebloskan ke dalam penjara, yang nampaknya menjadi tonggak guna melangkah menjadi seorang penguasa di Mesir. Kelaparan yang meluas di dunia, telah menjadi disempatan bagi Yusuf untuk menunjukkan kemampuannya di bidang administratif. Dan karena peristiwa kelaparan itu Yusuf bisa bergabung lagi dengan kakak-kakanya dan juga ayahnya, Yakub.

Karena Yakub dapat bertemu kembali dengan Yusuf anaknya, ia meninggal dengan bahagia. Penguburan ayahnya yang dilakukan di tanah Kanaan oleh Yusuf merupakan pertanda bahwa keluarganya suatu saat akan kembali lagi dari Mesir ke Tanah Terjanji.

Baca Kejadian 45:1-28. Perikop ini melukiskan gambaran indah perjumpaan yang penuh emosi antara Yusuf dan kakak-kakaknya dan Yakub menerima berita meyakinkan bahwa Yusuf masih hidup.

Anda barangkali ingin membaca seluruh kisah mengenai Yusuf. Cerita itu sangat menarik, adegan demi adegan berlangsung dengan cepat, jika kita sudah membacanya susah untuk berhenti. Di penghujung cerita, keluarga Israel di Mesir mengalami tragedi demi tragedi, menjadi budak, tetapi Allah akan membebaskan dan mereka akan mengalami hidup baru.

Kitab Keluaran : 1-18

Kejadian diakhiri dengan kematian Yusuf di Mesir kira-kira tahun 1750 SM. Lima ratus tahun telah berlalu antara kematian Yusuf dan peristiwa-peristiwa yang akan dihadirkan dalam kitab selanjutnya, yakni Keluaran. Di dalam kurun waktu lima ratus tahun turunan Abraham menjadi budak. Catatan-catatan kuno merujuk kepada turunan Abraham sebagai “Habiru,” yang berarti masyarakat nomadik yang sedang mencari kerja di proyek-proyek pembangunan di Mesir. (Dari Habiru inilah kemudian muncul istilah Hebrew (Ibrani), nama lain dari Israel).

Kitab Keluaran menggambarkan perbudakan bangsa Israel dan pembebasan mereka di bawah kepemimpinan Musa. Orang-orang Israel telah kehilangan jati diri mereka, tetapi ketika Allah menampakkan diri kepada Musa sebagai “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub” (Kel 3:6), sebuah proses dimulai yang akan membawa orang-orang Ibrani kembali kepada identitas mereka semula yaitu sebagai Keluarga Allah.

Nampaknya, terjadi beberapa gelombang perpindahan orang-orang Habiru ke Mesir dan beberapa gelombang pula ketika mereka meninggalkan Mesir. Kitab Suci memusatkan diri pada Keluaran yang dipimpin oleh Musa. Kebanyakan ilmuwan menempatkan peristiwa Keluaran terjadi pada masa kekuasaan Ramses II dan tahun Keluaran kira-kira pada 1250 SM. Banyak ilmuwan menduga bahwa jumlah orang Israel yang dipimpin oleh Musa hanya beberapa ribu saja. Tetapi ketika kisah Keluaran diceritakan berulang-ulang, ia berubah menjadi semacam kisah kepahlawanan. Dan jumlah orang yang keluar dari Mesir mendekati jumlah penduduk Israel pada masa puncaknya. Peritiwa-peristiwa Keluaran lebih lanjut bobotnya diperbesar sampai menjadi ungkapan mukjizat Allah yang memberikan kekuatan dan perlindungan : wabah penyakit sampar, terbelahnya laut, dan tiang-tiang api.

Apa makna di balik peristiwa sejarah Keluaran? Salah satu kemungkinan skenario sebagai berikut : Musa, sebagai pemimpin yang berpengaruh pada waktu itu, mengalami peristiwa hadirnya Allah (semak yang terbakar). Ia bisa memahami keinginan Allah bahwa Israel harus dibebaskan. Mengambil kesempatan dari kekacauan peristiwa-peristiwa alam pada waktu itu (sungai Nil yang meluap, katak-katak yang terbawa banjir, lalat dan nyamuk yang memakan bangkai katak, merebaknya pelbagai penyakit dan sampar; udara panas, wabah belalang ; badai padang gurun; mungkin kematian putra Firaun), Musa memimpin satu kelompok orang-orang Israel ke suatu wilayah yang dikenal dengan Laut Bambu (Sea of Reeds bukan “Red Sea,” Laut Merah, tampaknya di sini terjadi salah terjemah dari kata Ibrani asli). Orang-orang Israel berhasil menyeberangi Laut Bambu, sementara pasukan berkuda Mesir tenggelam. Banyak dari mereka yang mati, dan orang-orang Israel memasuki padang gurun, tempat mereka mengembara selama empat puluh tahun sebalum memasuki Tanah Terjanji di bawah pimpinan panglima perang Musa, Yosua.

Mengapa kita tidak menganggap kisah Keluaran sebagai apa adanya? Mengapa kita tidak mengikuti saja tafsir yang dilakukan oleh para fundamentalis bahwa Kitab Keluaran adalah sejarah sebagaimana makna modern?

Pada dasarnya, kita tidak menafikan kemampuan Allah melakukan mukjizat dalam kisah Keluaran. Allah adalah Allah dan dapat melakukan mukjizat. Namun jika kita melihat materi Keluaran, kita diajak untuk percaya bahwa pengarang “biblis” bermaksud menulis bukan sejarah dalam artian moderen tetapi kisah kepahlawanan yang mengagungkan Allah dan mempermalukan musuh-musuh Allah. Penulis-penulis ini menggabungkan sumber-sumber kuno menjadi sebuah kisah yang benar-benar mudah diingat, dan mengagungkan kekuatan Allah. Selain itu, para penulis tersebut mengingatkan kembali bahwa memandang asal-mula Israel sebagai bangsa hanya sebatas sejarah jelas tidaklah tepat.

Kita barangkali bisa membandingkan Keluaran dengan lagu country Johny Horton, “The Batle of New Orleans.” (Pertempuran New Orleans). Lagu ini memiliki landasan yang kuat dalam sejarah, tetapi ia ditulis menjadi sebuah bentuk lagu kepahlawanan, dengan imajinasi dan humor. Betul telah terjadi pertempuran di New Orleans pada tahun 1814-1815, dan Jendral Jackson mengalahkan Inggris (lagu ini membantu masyarakat mengingat fakta-fakta ini – Pertempuran New Orleans -- lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pelajaran sejarah di dalam kelas). Namun ada bagian-bagian yang mengagumkan dalam lagu tersebut (buaya dipergunakan sebagai meriam ketika meriam yang sesungguhnya tidak bisa dipergunakan karena terlalu panas!) yang tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai sejarah. Hal yang hampir sama terjadi pada para penulis Keluaran, mereka tidak bermaksud menyajikan rincian-rincian kisah sebagai peristiwa sejarah.

Terdapat beberapa bukti di dalam kisah tersebut yang membawa kita kepada penafsiran bentuk sastra sebagai cerita kepahlawanan daripada sejarah. Pertama, mengapa Firaun mengijinkan Musa datang kembali dengan ancaman-ancaman dan permintaan-permintaan? Mengapa Firaun tidak menjebloskan saja Musa ke dalam penjara atau menghukum mati Musa? Kedua, Keluaran 12:37 mengatakan 600.000 orang laki-laki meninggalkan Mesir; jelas ini akan memberikan gambaran bahwa yang meninggalkan Mesir berjumlah jutaan orang. Tetapi cerita sebelumnya menyebutkan hanya dua pembantu bagi seluruh orang Ibrani! Ketiga, terdapat ketidak-konsistenan jelas hal tersebut bukan merupakan sejarah. Sebagai contoh, “seluruh ternak orang Mesir mati” ketika tulah kelima terjadi (wabah sampar), tetapi ternak itu mati lagi oleh hujan es dan mati lagi ketika tulah kesepuluh terjadi, matinya anak sulung. Keempat, terdapat ketidak-adilan dari seorang Allah yang menghukum satu orang tetapi membela lainnya, bahkan Allah tidak menghentikan pembantaian anak-anak yang tidak berdosa. Allah semacam itu tidak bisa disamakan dengan Allah yang diwahyukan oleh Yesus Kristus.

Sekali lagi ditekankan di sini, kita tidak menolak kemungkinan terjadi mukjizat. Allah adalah mahakuasa dan Ia tidak dibatasi oleh hukum-hukum alam. Mengingat Kitab Keluaran berbentuk sastra dan cerita kepahlawanan sulit bagi kita untuk menyimpulkan dengan tepat apakah mukjizat-mukjizat itu benar-benar terjadi seperti apa yang digambarkan di sana. Keluaran memberikan kita hakikat sejarah yang penting yaitu keluarnya orang-orang Israel dari Mesir di bawah pimpinan Musa. Keluaran menyajikan pelajaran penting bagi kita : Allah begitu memperhatikan umatNya dan Allah mendukung kebebasan. Di luar fakta-fakta pokok, terdapat ruang yang cukup luas bagi spekulasi, dan Gereja Katolik tidak mengeluarkan pernyataan dogmatis perihal permasalahan tersebut.

Baca Keluaran I, kita akan merasakan kesengsaraan dan keputusasaan yang di alami orang-orang Israel yang menjadi budak di Mesir. Baca Keluaran 14, di sana kita merasakan aroma kegembiraan atas kebebasan. Bayangkan anak-anak Yahudi tujuh ratus tahun kemudian, duduk mengelilingi kakeknya:”Ceritakan lagi, kakek, bagaimana Allah menuntun Musa dan orang-orang Israel menyeberang laut!”

Janji Allah di Gunung Sinai : Keluaran 19-40

Orang-orang Israel yang dipimpin Musa ke luar dari Mesir merupakan kelompok pengungsi yang kerap mengeluh. Mereka beradu argumen dengan Musa, mengeluh lantaran hidup menjadi begitu keras, dan bahkan suatu saat mereka ingin kembali ke Mesir.

Kendati demikian, Allah tetap menjadikan para pengungsi ini sebagai anggota Keluarga Allah. Di Gunung Sinai, Allah membuat perjanjian dengan orang-orang Ibrani yang dipusatkan pada Sepuluh Perintah Allah. Orang-orang Israel mematuhi dan menjaga perintah-perintah tersebut sebagai bagian dari perjanjian. Sedangkan bagian Allah dari perjanjian tersebut adalah “janji ilahi” bahwa Allah akan menjadi Tuhan mereka, melindungi mereka, dan menuntun mereka ke tanah terjanji seperti yang telah dijanjikan kepada Abraham.

Sepuluh Perintah Allah ini dituangkan dalam Keluaran 20:1-17 (dan ditulis ulang dengan bentuk yang sedikit berbeda di Ulangan 5:1-21). Tradisi menganggap perintah-perintah tersebut sebagai “berjumlah sepuluh” berasal dari Keluaran 34:28. Tata cara pemberian nomor bervariasi. Gereja Katolik menghitung Keluaran 20:1-6 sebagai satu perintah dan Keluaran 20:17 sebagai dua perintah.

Kitab Suci menganggap Sepuluh Perintah Allah sebagai berasal dari Allah (Kel 34:1) dan juga berasal dari Musa (Kel 34:8). Tradisi-tradisi ini menunjukkan bahwa keberadaan Israel sebagai suatu bangsa sangat bergantung pada hubungannya dengan Allah. Tradisi-tradisi tersebut memperlihatkan bahwa Musa dipilih oleh Allah untuk menetapkan semacam hukum bagi bangsa Israel dan untuk membentuk sebuah bangsa yang akan menyembah kepada Allah Yang Benar. Tradisi-tradisi tersebut juga menetapkan Musa sebagai pemimpin religius yang merancang Tabut Perjanjian, sebuah peti jinjing yang berisi Sepuluh Perintah Allah dan merupakan singgasana Allah dimana Allah akan menjumpai bangsa Israel. Musa yang kemudian menjadi pemimpin membawa bangsa Israel senantiasa berhubungan dengan Allah.

Karena alasan-alasan itulah, sebagian besar hukum dan aturan bangsa Israel, tatacara liturgi, penetapan bentuk Kenisah yang baik, dan pola-pola ibadat semuanya dihimpun dalam Kitab Keluaran bersamaan dengan tibanya Sepuluh Perintah Allah yang berasal dari Allah melalui Musa. Para penyunting, tujuh ratus tahun setelah peristiwa Sinai, menghimpun Kitab Keluaran dari pelbagai macam sumber yang berasal dari hukum-hukum bangsa Israel yang kesemuanya bermuara pada perjanjian di Gunung Sinai.

Para penyunting itu menyadari pula bahwa sejarah Israel merupakan rangkuman pelbagai peristiwa yang terjadi dalam Keluaran. Karena itulah para penyunting tersebut memasukkan kisah Anak Lembu Emas (Kel 32-34) di antara daftar hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Seperti halnya ketika bangsa Israel di padang gurun yang memiliki kecenderungan menolak Allah, begitu pula keturunannya akan mengikuti kegagalan leluhur mereka, bahkan semakin banyak membuat anak-anak lembu emas (Lihat 1 Raja-raja 12:26-32). Sebagaimana Allah mengampuni bangsa Israel ketika mereka menyesal, beberapa abad kemudian Allah juga mengampuni para pendosa, dan tetap mengajak mereka kembali kepada janji kelimpahan setia-Nya.

Apa yang hendak disampaikan perikop-perikop Keluaran kepada kita dewasa ini? Perikop-perikop tersebut menyampaikan kepada kita bahwa Allah senantiasa ingin lebih dekat dengan kita (Kel 33:12-13). Allah menghendaki agar kita mematuhi perintah-perintah yang ditetapkan Allah mengingat perintah-perintah tersebut membawa kita kepada kehadiran Allah. Selain itu perikop-perikop tersebut mengajarkan kepada kita bagaimana mengalami kebebasan dalam arti yang sesungguhnya. Adalah Allah yang membawa bangsa Israel bebas dari perbudakan. Ketika Allah memberi bangsa Israel Sepuluh Perintah Allah, itu dimaksudkan agar bangsa Israel bebas dari ikatan-ikatan yang menyengsarakan : mulai dari bentuk perbudakan sampai dengan dosa. Jika kita mematuhi perintah-perintah tersebut dewasa ini, kita akan menikmati kebebasan penuh tanpa khawatir akan terperangkap dalam lingkaran-lingkaran dosa.

Bahkan kita bisa belajar dari perikop-perikop tersebut daftar-daftar hukum dan peraturan yang dewasa ini sudah tidak pernah kita ikuti lagi. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan tersebut mengingatkan kita akan komitmen para pendahulu kita secara religius untuk hidup secara benar dan tetap melaksanakan kehidupan doa (penyembahan kepada Allah). Hukum-hukum dan peraturan-peraturan tersebut mendorong kita untuk taat dan menyembah Allah dengan cara yang paling baik, "TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel 34:6).

Baca Keluaran 20 :1-17, di sana digambarkan bagaimana Allah menetapkan perintah-perintahNya kepada bangsa Israel. Baca Keluaran 24:1-8, perikop ini mengisahkan bangsa Israel menerima segala persyaratan perjanjian yang ditetapkan Allah dan Musa memimpin mereka dalam sebuah upacara penerimaan perjanjian tersebut. Dalam upacara itu, altar merupakan simbol kehadiran Allah, dan darah perlambang kehidupan. Ketika Musa mengambil darah kurban, dan dipercikan separuh pada altar dan separuhnya lagi kepada orang-orang Israel, Musa menyatakan kebersatuan antara Allah dengan bangsa Israel. Baca Keluaran 32:1-20, dan Keluaran 34:1-9, di sana kita akan menjumpai kisah Anak Lembu Emas dan pembaruan perjanjian. Baca Keluaran 38:1-8, merupakan sebuah contoh mengenai peraturan beribadah yang dimuat di Kitab Keluaran. Aturan itu dicatat begitu rinci mencerminkan keinginan bangsa Israel untuk menyembah Allah dengan segenap hati.

Kitab Imamat : “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, Kudus.”

Kitab Imamat di dalam bahasa Inggris dikenal dengan Leviticus nama ini berasal dari kata Levi mengingat di dalam kitab ini berisi kaidah-kaidah ritual yang diperuntukkan bagi imam-imam dari suku Levi. Kaidah-kaidah ini bermula dari Musa, dan beberapa bermuara dari jaman Musa selama bangsa Israel ke luar dari Mesir (Keluaran). Tetapi nampaknya sebagian besar dari kaidah-kaidah tersebut dihimpun dari masa dan adat istiadat sesudah jaman keluaran. Kaidah-kaidah itu ditempatkan dalam Pentateukh kira-kira tahun 550 SM.

Para pembaca moderen mungkin akan berhadapan dengan aturan-aturan dan ritual-ritual Imamat yang cukup melelahkan bila dibaca. Namun kita dapat menarik manfaat dari kitab tersebut jika kita memandangnya sebagai sebuah dokumen yang dirancang untuk menetapkan idealisasi dan tujuan perilaku Perjanjian Lama sebagaimana leluhur kita melakukan penghormatan terhadap Allah.

Baca Imamat 19:1-19, di sini kita akan berhadapan dengan thema pokok Imamat “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Dalam perikop tersebut kita belajar bahwa memenuhi kewajiban kita terhadap orang lain berkaitan erat dengan pemenuhan kewajiban kita kepada Allah. Kita mendapati beberapa perintah dari Sepuluh Perintah Allah yang dinyatakan kembali, dan kita menjumpai ajakan yang begitu indah yaitu mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Kita juga menemukan aturan yang bagi kita mungkin terasa aneh, seperti larangan mengenakan pakaian yang terbuat dari dua bahan. Para ilmuwan masih berdebat perihal dari mana aturan tersebut berasal. Kerapkali aturan-aturan itu berasal dari kegiatan ritual. Pada waktu-waktu tertentu aturan-aturan itu berasal dari pengalaman, misalnya larangan memakan daging babi. Aturan ini muncul lantaran begitu banyak orang Israel yang terkena penyakit cacing pita. Apa yang pada mulanya hanya ditabukan lantaran makanan-makanan tertentu berpotensi membahayakan, lama-kelamaan dimaknakan sebagai larangan agama.

Baca Imamat 23, instruksi melaksanakan Sabat dan lima perayaan suci orang Yahudi : Paskah, Pentakosta, Tahun Baru, Hari Perdamaian, dan Pondok Daun. Tujuan hari Sabat dan lima perayaan suci adalah untuk membantu orang-orang Israel mengingat kebenaran yang paling mendasar :”Akulah TUHAN, Allahmu” (Im 23:43).

Imamat bisa membantu kita mengingat bahwa Allah adalah Tuhan kita dan harus menata hidup kita menurut pola yang telah diberikan Allah kepada kita. Kita harus kudus karena Allah adalah kudus.

Kitab Bilangan

Nama Kitab Bilangan berasal dari bilangan angka dari dua kali pelaksanaan penghitungan penduduk Yahudi (sensus) dan dari daftar barang-barang dan orang-orang yang diuraikan dalam kitab tersebut. Kitab itu menggambarkan empat puluh tahun pengembaraan bangsa Israel di padang gurun dan berakhir dengan menjelang masuknya bangsa itu ke Tanah Terjanji. Pelbagai macam catatan, daftar, cerita-cerita, dan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi-tradisi itu diwariskan orang-orang Israel selama berabad-abad sebelum disunting menjadi bentuk yang kita kenal sekarang ini. Dengan menyusun materi-materi tertsebut, para penyunting akhir Bilangan mendorong orang-orang Israel pada tahun 550 SM untuk melihat diri mereka sendiri sebagai sebuah komunitas suci, yang diatur oleh kehendak Allah, diundang untuk mengikuti hukum Tuhan.

Pembaca barangkali ingin membaca cepat daftar-daftar yang tercantum dalam Bab 1-3 agar lebih mengenal tipe-tipe sastra. Baca Bilangan 20 untuk mendapatkan pemahaman atas empat puluh tahun pengembaraan bangsa Yahudi di padang gurun, seperti : catatan kematian adik Musa, Miryam, gugatan orang-orang Israel karena kekurangan kebutuhan pokok seperti air, gangguan yang terus-menerus dari bangsa-bangsa sekitar yang bersikap permusuhan, dan kematian adik Musa, Harun.

Baca Bilangan 22-24. Di sini kita akan menemukan sebuah legenda (mungkin dikembangkan dari sejarah leluhur bangsa Israel) dimaksudkan untuk mengajarkan kebenaran religius. Begitu bangsa Israel mendekati Tanah Terjanji, kehadiran mereka membuat cemas Raja bangsa Moab. Raja itu berusaha menyewa seorang nabi bernama Bileam, untuk mengutuk bangsa Israel. Namun dari legenda yang berkaitan, Bileam dituntun Allah sehingga ia tidak bisa mengutuk bangsa Israel tetapi sebaliknya malah memberkati orang-orang Yahudi. Ada juga cerita humor yang menarik, utamanya cerita tentang binatang yaitu seekor keledai yang bisa berbicara. Baca Bilangan 22:22-35 untuk memahami bagaimana cerita tentang binatang itu mengajarkan kebenaran religius bahwa bangsa Israel ada dalam lindungan Allah.

Kitab Ulangan

Dalam bahasa Inggris Kitab Ulangan dikenal dengan Deuteronomy yang berati “hukum kedua,” atau “salinan hukum.” Nama ini sesuai karena Kitab Ulangan diawali dengan ulangan hukum dan aturan-aturan yang dapat ditemukan dalam Pentateukh. Hukum-hukum dan aturan-aturan di dalam kitab ini dicantumkan dalam format sebuah kotbah yang disampaikan Musa kepada bangsa Israel beberapa saat sebelum mereka memasuki Tanah Terjanji.

Musa mempelajari seluruh peristiwa Keluaran dari Mesir dan selama empat puluh tahun mengembara di padang gurun. Ia mengulangi lagi hukum-hukum termasuk Sepuluh Perintah Allah (Ul 5:1-21) yang telah digunakan untuk mengatur bangsa Israel. Musa merinci berkat-berkat Allah yang akan diterima bangsa Israel bila mereka mematuhi hukum-hukum dan aturan-aturan tersebut serta memperingatkan akan adanya kutukan-kutukan jika bangsa itu tidak mematuhi hukum dan aturan tersebut. Setelah Yosua ditunjuk Allah sebagai pengganti Musa, Musa memberkati dua belas suku bangsa Israel, mendaki Gunung Nebo untuk melihat Tanah Terjanji dan meninggal di sana.

Kitab Ulangan berakhir begitu bangsa Israel bersiap memasuki Tanah Terjanji dengan sebuah pujian bagi Musa, …….”dalam hal segala tanda dan mujizat, yang dilakukannya atas perintah TUHAN di tanah Mesir terhadap Firaun dan terhadap semua pegawainya dan seluruh negerinya, dan dalam hal segala perbuatan kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa di depan seluruh orang Israel.” (Ul 34:11-12).

Mengingat Ulangan menghadirkan Musa sebagai seorang orator yang menyampaikan pidatonya kepada orang-orang Israel, para fundamentalis menafsirkan kitab tersebut sebagai berisi pidato yang sesungguhnya yang disampaikan oleh Musa. Tetapi, bahasa, gaya, dan rujukan terhadap peristiwa sejarah di kemudian hari, menunjukkan hal yang sebaliknya. Rasanya juga tidak mungkin Musa yang berumur 120 tahun mampu berpidato sepanjang yang disajikan dalam Kitab Ulangan di hadapan ratusan ribu orang Israel. Kemungkinan besar, Kitab Ulangan adalah sebuah perangkat bergaya sastra yang menempatkan Musa sebagi pusat panggung sebagai seorang pelaku sejarah yang menyampaikan pidatonya kepada orang-orang dewasa, sebagaimana seorang pemain teater beraksi di muka penontonnya.

Sangat mungkin bahwa bagian-bagian Ulangan dan sebagian dari Pentateukh berasal dari Musa sendiri. Namun Kitab Ulangan yang bentuknya seperti yang kita kenal dewasa ini kemungkinan besar ditulis oleh para pemimpin religius Israel pada waktu pembuangan di Babel. Yerusalem telah dihancurkan, puluhan ribu orang Israel dibantai, dan ribuan lainnya dipaksa menyeberang padang gurun menuju Babel. Di jaman sengsara dalam sejarah Israel ini, penulis-penulis Kitab Ulangan menempatkan Musa berhadapan dengan orang-orang Israel. Setting-nya adalah kelompok orang-orang Israel yang akan memasuki Tanah Terjanji, tetapi audience (penonton) yang sesungguhnya adalah kelompok orang-orang yang selamat dari pembuangan. Pesan yang disampaikan sangat jelas. Hanya ada satu Allah. Allah adalah penuh dengan kesetiaan. Allah sendirilah yang layak untuk disembah dan dihormati. Patuh pada Allah akan menuai berkah, menolak Allah hanya akan mendatangkan kehancuran.

Pesan tersebut menjadi dasar apa yang kemudian disebut sebagai Teologi Deuteronomist. Para penulis Ulangan melihat kembali sejarah Israel dan menemukan sebuah pola di sana, yaitu Allah selalu setia. Ketika orang-orang Israel menuruti kehendak Allah segalanya berlangsung baik; namun ketika mereka tidak patuh, segalanya berubah menjadi buruk. Sebagaiman terjadi di kemudian hari, raja dan tentara tidak dapat menyelamatkan Israel. Hanya Allah yang sanggup. Dan kepatuhan kepada Allah akan menjadi satu-satunya cara untuk menerima pengampunan dari Allah.

Kitab Ulangan disusun sebagian besar berasal dari tradisi Deuteronomist. Tradisi Deuteronomist dapat kita temui pada kitab-kitab Pentateukh yang terdiri atas beberapa ayat yang tersebar di sana-sini. Namun tradisi Deuteronomist itu menjadi sumber dari Kitab-kitab Yosua, Hakim-hakim, 1 dan 2 Samuel, dan 1 dan 2 Raja-raja. Ia juga memiliki pengaruh penting dalam penulisan kitab-kitab lainnya dari Kitab Suci. Kitab Ulangan berdampak begitu besar dalam Yudaisme dan Kekristenan. Kitab Ulangan dikutip dan dirujuk sebanyak dua ratus kali di dalam Perjanjian Baru.

Teologi Kitab Ulangan sangat terbatas. Para penulisnya adalah orang-orang yang berasal pada jamannya, dan mereka belum memperoleh kepenuhan wahyu yang disampaikan melalui Yesus Kristus. Para penulis tersebut bersama penulis Perjanjian Lama lainnya, belum bisa membedakan antara Allah yang menyebabkan sesuatu atau menganugerahkan sesuatu. Mengingat Allah begitu perkasa, mereka percaya bahwa Allah penyebab segala sesuatu, termasuk penderitaan. Dan jika Allah menyebabkan sesuatu yang buruk, Allah pasti mempunyai alasan baik tersendiri. Biasanya, alasan tersebut berupa hukuman bagi para pendosa. Oleh karena itu, jika seseorang menderita, hal itu disebabkan karena ia berdosa.

Karena teologi yang dianut Ulangan sangat dekat kaitannya antara dosa dan penderitaan, maka sudah selayaknyalah kita menuruti kehendak Allah. Dan dunia yang kita huni akan menjadi tempat yang jauh lebih baik jika semua orang melakukan hal yang sama. (Bayangkan betapa indahnya dunia yang kita huni jika semua orang melaksanakan Sepuluh Perintah Allah!). Namun karena begitu banyak orang tidak menuruti kehendak Allah, dunia jauh dari apa yang Allah kehendaki. Di dalam dunia seperti ini, orang yang tidak bersalah dapat menderita karena ulah para pendosa baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepatuhan akan Allah tidak selalu menjanjikan kebahagiaan dan penderitaan tidak selalu hasil dari penolakan pribadi akan Allah.

Persoalan paling mendasar dari teologi Ulangan adalah ia mengajak orang untuk percaya bahwa penderitaan pribadi adalah sebagai akibat dari dosa pribadi. Hal ini menjadi bahan pertanyaan di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya seperti Ayub, dan teologi Ulangan dibantah secara total oleh ajaran dan hidup Yesus Kristus, yang tanpa salah sedikit pun menjadi korban dari dosa orang lain. Dalam memahami Ulangan, kita ditantang untuk menyimpulkan filosofi penderitaan bagi diri kita sendiri, berangkat dari keterbatasan Perjanjian Lama sampai dengan pemenuhan Wahyu di dalam Yesus Kristus.

Baca Ulangan 1:1-8, di mana para penulis Ulangan menyiapkan panggung bagi Musa untuk berbicara dengan umat Israel, tidak hanya bagi mereka yang sedang bersiap memasuki Tanah Terjanji tetapi juga bagi mereka dalam segala usia. Baca Ulangan 5:1-6:9 yang merupakan ulangan dari Perjanjian Sinai (Horeb adalah kata lain dari Sinai). Di sini juga termaktub pandangan deuteronomist mengenai Musa, yakni pernyataan bahwa kehidupan yang baik merupakan upah dari ketaatan dan pernyataan pertama kalinya mengenai “Perintah Agung.” Baca Ulangan 30, bab yang meringkas teologi Ulangan. Perhatikan bahwa sepuluh ayat pertama disampaikan bagi umat Israel yang diasingkan ke Babel.

Pentateukh : Sebuah Kesatuan

Pentateukh sebagaimana yang telah kita kenal disebut Taurat oleh orang-orang Yahudi dan dianggap sebagai satu kesatuan. Kejadian berhubungan dengan asal mula Keluarga Allah. Keluaran mengisahkan tentang sejarah kelahiran bangsa Israel. Imamat menekankan kesucian Keluarga Allah. Bilangan menggambarkan bagaimana mengatur sebuah bangsa. Ulangan menunjukkan roh cinta kasih dan kepatuhan yang harus menjadi ciri Keluarga Allah. Kitab-kitab ini sebagai satu kesatuan telah membentuk dasar bernegara orang-orang Yahudi, leluhur kita dalam hal iman.

Pertanyaan untuk bahan Diskusi dan Renungan

Sejauh mana Anda memahami silsilah keluarga Anda? Sejauh mana Anda bisa menelusuri sejarah keluarga Anda? Apakah Anda mempunyai kenangan tertentu dalam keluarga? Tradisi seperti apa di dalam keluarga yang paling Anda gemari (hari-hari libur, makanan untuk hari-hari tertentu, dll). Pernahkah Anda berpikir bahwa Perjanjian Lama merupakan sebuah catatan silsilah dan asal-usul, sejarah, dan kenangan, dan tradisi keluarga Anda? Apakah daftar nama, aturan, hal-hal penting yang dapat kita temui di Perjanjian Lama membantu Anda memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya?

Pernahkah Anda berpikir bahwa Sepuluh Perintah Allah sebagaimana dimaksudkan Allah adalah untuk memberikan kebebasan penuh kepada kita? Sadarilah bahwa dunia kita begitu terbelenggu oleh dosa. Apakah dunia yang kita huni ini akan berubah jika mulai hari ini semua orang melaksanakan Sepuluh Perintah Allah?

Para ilmuwan moderen di bidang astronomi, fisika, dan mikrobiologi memberikan pernyataan bahwa begitu besarannya alam semesta dan begitu kompleksnya bagian-bagian yang terkecil semakin membawa kepada iman akan Allah. Sangat masuk akal untuk mengatakan bahwa alam semesta dengan seratus miliar galaksi pastilah berasal dari sesuatu yang Abadi, yang Mahakuasa, mengingat E=mc2. Tetapi menjadi tidak masuk akal dengan mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari yang tidak ada (nothing). Tubuh manusia terdiri atas kira-kira 75 triliun sel, dan masing-masing sel mengandung lebih dari satu triliun atom. Hal-hal yang berkaitan dengan ini dapat Anda baca dari buku-buku seperti The Hidden Face of God oleh Gerald Sschroder dan More Than Meets the Eye oleh Dr. Richard Swenson yang memberikan kesaksian bahwa kehidupan manusia tiak mungkin berevolusi lantaran kebetulan. Apakah penemuan-penemuan ilmu pengetahun memperkuat iman Anda akan Allah?

Kitab Suci mengajarkan kebenaran religius yang diperkuat oleh studi-studi ilmiah. Gerald Schroder menunjuk pada kesetaraan yang mengagumkan antara enam hari penciptaan dan pemahaman ilmiah terhadap pola-pola perkembangan setelah Ledakan Besar (Big Bang). Ilmuwan-ilmuwan lain -- mengamati bahwa Kitab Kejadian menyebut adanya cahaya lebih dahulu sebelum penciptaan bintang-bintang – menjelaskan bahwa produk paling utama dari Ledakan Besar adalah radiasi yang begitu kuat, yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai cahaya. Dalam artian ini, cahaya sungguh ada sebelum bintang-bintang diciptakan. Apakah Anda mempelajari adanya kesamaan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan. Mungkinkah pararel itu merupakan inspirasi Allah agar kita memperhatikan hal tersebut sejalan dengan pengetahuan kita mengenai alam semesta yang semakin canggih?

Aktivitas

Cobalah Anda keluar rumah ketika langit malam cerah dan lihatlah ke atas. Ada lebih dari 100 milyar bintang pada gugus (galaxy) Milky Way dan lebih dari 100 milyar gugus (galaxy) dalam alam semesta. Berapa luas dan ukuran alam semesta? Tak terbayangkan. Untuk mencapai bintang yang terdekat dengan gugus kita dengan pesawat komersial yang ada sekarang diperlukan 100.000 tahun. Bahkan dengan kecepatan cahaya (299.792 km per detik), dibutuhkan waktu 30 milyar tahun berkendara dari ujung gugus ke ujung gugus lainnya. Tanyalah diri Anda sendiri : dapatkah hal-hal tersebut muncul dari sesuatu yang tidak ada? Camkan Kejadian 1:31 :”Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” Pujilah Allah karena kebesaran alam semesta. Berterimakasihlah kepada Allah karena kita diberi kesempatan untuk mempelajari keindahan ciptaaNya.