Monday, October 09, 2006

Bab Empat : Memasuki Perjanjian Lama : Dari Adam Sampai Musa

Wayne dan Rita mendengar celoteh anak-anak mereka sepanjang perjalanan pulang dari kunjungan Natal ke rumah orang tua Rita. Anak-anak itu mengulangi apa yang diceritakan kakek tentang masa lalu dan mulai bertanya kepada orang tua mereka mengenai nenek-moyang mereka.

Penasaran oleh keinginan anak-anak mereka tentang masa lalu, Wayne dan Rita memutuskan untuk mulai mempelajari sejarah keluarga mereka. Mereka meminta orang tua mereka mencatat sejarah dan riwayat masa lalu keluarga mereka. Mereka mulai melacak silsilah keluarga. Wayne dan Rita membawa anak-anak mereka ke gereja di mana keluarga mereka dipermandikan dan melihat makam saudara-saudara mereka. Orang tua dan anak-anak sama-sama menyukai tulisan-tulisan surat kabar tua dan catatan pengadilan mengenai transaksi-traksaksi tanah.

Suatu saat, Rita dan Wayne harus melacak asal mereka ke German. Mereka mendapati bahwa moyang mereka meninggalkan Eropa pada tahun 1849 guna menghindari penganiayaan agama, mengalami susahnya pelayaran menyeberangi Atlantik, menyusuri sungai Ohio dengan perahu, dan akhirnya menetap di Kentucky.

Dengan menyelidiki masa lalu mereka, mereka menemukan sebentuk penghormatan baru terhadap iman Katolik mereka dan Amerika sebagai daerah pengharapan. Mereka memperoleh suatu pandangan baru tentang arti keluarga. Mereka berbicara mengenai nilai-nilai yang dianut nenek-moyang mereka yang masih terpelihara dan arti nilai-nilai tersebut bagi mereka. Silsilah keluarga mereka menjadi suatu kehidupan baru mengingat ia sekarang kokoh berakar dari masa lalu.

Akar-akar Spiritualitas Keluarga Kita

Di jaman dunia yang begitu cepat berubah, orang dapat dipastikan akan mencari kestabilan dan kepastian yang datang dari akar budaya dan keluarganya. Kita sebagai orang Katolik mempunyai akar budaya yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar catatan-catatan pengadilan atau batu-batu kuburan. Kita dapat melacak spiritualitas nenek-moyang kita kembali kepada tradisi-tradisi kuno jaman Perjanjian Lama.

Jika kita memperhatikan kitab-kitab Perjanjian Lama sebagai catatan sejarah keluarga kita sendiri, kita akan menemukan sebuah kunci yang akan menyingkap kekayaan yang terbesar dari Kitab Suci. Catatan-catatan itu tidak hanya sekadar cerita-cerita dari masa lalu, daftar nama-nama, dan hukum-hukum atau aturan-aturan kuno. Semua itu adalah sejarah keluarga kita, nama-nama leluhur di dalam iman, dan rincian yang menceritakan bagaimana keluarga kita pernah hidup. Jika kita memandang Perjanjian Lama dengan antusiasme yang sama siapapun akan merasa sedang melihat ke dalam kekayaan keluarga masa lalu.

Membaca Perjanjian Lama

Salah satu tujuan dari buku ini adalah membantu para pembacanya “membaca” Kitab Suci dengan menyediakan sebuah pemandu perjalanan dengan latar belakang informasi dan perikop-perikop terpilih dari Kitab Suci. Informasi dan pilihan-pilihan tersebut akan dibatasi agar buku ini memiliki ukuran yang pas (tidak terlalu tebal dan juga tidak terlampau tipis). Jika para pembaca ingin mendapat penjelasan yang lebih rinci, bisa memperolehnya dari tafsir dan penjelasan Kitab Suci. (Lihat Daftar Pustaka)

Kita mulai dengan pengantar kepada Pentateuck, kemudian berpindah kepada kitab-kitab dari Kitab Suci, mengikuti urutan yang terdapat dalam New Revised Standard Version of The Bible. (Catatan Penterjemah : untuk terjemahan bahasa Indonesia urutan yang sama dengan New Revised Standard Version of The Bible dapat pembaca jumpai pada Kitab Suci Katolik (Alkitab Katolik Deuterokanonika) Percetakan Arnoldus Ende, tahun 2001 diterbitkan oleh Ditjen Bimas Katolik, Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA).

Pentateukh

Para pnyunting yang menyusun Pentateukh -- lima kitab pertama dari Kitab Suci, kira-kira lima ratus lima puluh tahun sebelum Kristus --, bermaksud memberikan kemantaban dan kepastian kepada orang-orang Israel. Orang-orang Israel pada waktu itu tercerabut dari akarnya dan diasingkan oleh orang-orang Babel. Mereka yang kembali ke Israel dibujuk untuk meninggalkan Allah dan berpaling kepada dewa-dewa orang kafir. Mereka tertarik oleh mitos-mitos kafir yang menganggap bahwa kejahatan dan kekacauan menentukan nasib manusia.

Para penyunting berkeinginan untuk mengembalikan orang-orang Israel dari kekeliruan tersebut dan kembali kepada tradisi kokoh yang diwariskan oleh Abraham dan Musa. Para penyunting mencatat kisah-kisah yang kerap diceritakan para leluhur mereka yang telah mengikuti kehendak Allah. Mereka mengajarkan bahwa Allah itu ada, Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu, dan kejahatan bukan berasal dari Allah tetapi sebagai hasil konsekwensi dari pilihan dosa yang dilakukan oleh manusia.

Dalam pada itu, kita senantiasa dihadapkan pada pencobaan seperti yang dihadapi bangsa Israel kuno. Kita digoda untuk meremehkan iman kita sebagai ketinggalan jaman, untuk menyembah ilah-ilah palsu seperti : materialisme, seks, dan sekularisme, untuk takut kepada setan yang memiliki kekuasaan menghancurkan segala sesuatu yang baik, indah, dan sempurna.

Pentateukh mewartakan kepada kita, sebagaimana kepada generasi-generasi terdahulu, bahwa Allah sungguh-sungguh ada, kebaikan akan mengalahkan kejahatan, kita dapat melangkah dengan aman mengikuti jalan yang dipilih oleh pendahulu kita. Pentateukh masih relevan bagi kita hingga hari ini, sebab ia merupakan catatan keluarga kita di masa lalu, diinspirasi Allah, dan menjawab hampir semua pertanyaan mendasar mengenai kehidupan.

Kitab Kejadian : 1-11

Kejadian adalah sebuah kitab yang bagi orang-orang Israel berfungsi sebagai pengingat asal-usul keluarga mereka melalui garis keturunan Abraham, Ishak, dan Yakob, dan lebih dari itu ia merupakan kitab yang mencatat asal mula alam semesta dan membahas apa arti hidup itu bagi manusia. Sekarang, buka Kitab Suci-mu dan bacalah Kejadian 1:1-24.

Perikop dari kitab Kejadian ini adalah berasal dari tradisi Imam dan kitab ini barangkali digunakan untuk pemujaan di rumah ibadat (Kenisah). Kitab ini menggambarkan pemahaman orang Yahudi akan sebuah dunia yang merupakan bangunan datar ditopang oleh pilar-pilar di atas lautan dan langit sebagai mangkuk terbalik dengan jendela-jendela sebagai jalan masuk air hujan dan salju. Dalam perikop itu pun kita menemukan beberapa pengulangan frasa yang dimaksudkan sebagai mempermudah mengingat, seperti : “Berfirmanlah Allah,” “Dan jadilah demikian,” “Allah melihat semuanya itu baik,” “Jadilah petang dan jadilah pagi.” Bangunan tujuh hari memiliki pola puitik, dimaksudkan untuk mengajarkan kesucian hari Tuhan, karena bagi Tuhan pun memerlukan istirahat setelah enam hari bekerja!

Bangunan tujuh hari itu juga melukiskan saling keterkaitan antar hari, berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah mengingat. Hari pertama, ketika Allah menciptakan terang berhubungan dengan hari ke empat ketika Allah menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang. Hari kedua, ketika Allah menciptakan cakrawala yang memisahkan air yang di atas cakrawala dengan air yang di bawah cakrawala berkaitan dengan hari ke lima, ketika Allah menciptakan burung-burung yang terbang di bawah langit dan ikan yang berenang di laut. Hari ketiga, ketika Allah menyebabkan dataran mengering dan menumbuhkan tanaman, berhubungan dengan hari ke enam, ketika Allah menciptakan binatang dan manusia yang hidup di tanah dan makan tanaman.

Perhatian khusus diberikan pada penciptaan manusia. Allah berfirman, “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Makna dari kalimat ini menjadi bahan perdebatan para ahli. Salah satu pendapat adalah bahwa “baiklah kita” mungkin merupakan sebuah bentuk jamak bagi penghormatan (berkaitan dengan kekuasaan, seperti seorang raja), yang dapat diartikan sebagai pernyataan keseriusan Allah untuk melakukan sesuatu yang istimewa (khusus). “Menurut gambar dan rupa Kita” barangkali mengacu kepada fakta bahwa manusia telah menguasai bumi sebagai wakil Allah dan dipanggil untuk memelihara dunia yang telah diberikan kepada kita.

Berlawanan dengan mitos kafir pada masa itu, kisah penciptaan tersebut mengajarkan bahwa hanya satu Allah yang menciptakan segala sesuatu. Penciptaan tidak berasal dari peperangan antara dewa baik dan jahat yang hanya merupakan satu bagian dari hakikat dasar kehidupan.

Jika kita cermati, pesan-pesan tersebut masih memiliki nilai kebenaran bagi kita dewasa ini. Alam semesta tidak berasal dari sesuatu yang tidak ada. Organisasi alam semesta tidak dapat terjadi hanya dengan suatu kecelakaan akibat benturan antar atom. Allah sungguh ada. Allah yang menciptakan alam semesta. Kita manusia ada bukan karena kebetulan tetapi ciptaan yang berharga, sebab kita adalah milik Allah yang mewakiliNya di bumi. Bab pertama dari Kejadian tidak menyajikan sebuah kisah ilmu pengetahun tentang penciptaan (hal ini belum dikenal pada waktu Kejadian disusun), tetapi mengajarkan kebenaran religius dalam bahasa yang penuh dengan kekuatan dan keindahan.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kejadian tidak bertentangan dengan teori-teori ilmu pengetahuan modern, termasuk di dalamnya teori evolusi, sepanjang hal-hal tersebut tidak menolak keberadaan Allah dan fakta bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Kejadian menitik beratkan pada hal-hal religius, seperti mengapa terjadi penciptaan dunia? Sedangkan ilmu pengetahuan modern berangkat dari pengamatan, bagaimana dunia itu diciptakan? Adalah sangat mungkin bahwa di dalam kehendak Allah, evolusi bisa saja terjadi atas ciptaan Allah. Kejadian mengajarkan bahwa dengan cara bagaimana pun alam semesta mewujud menjadi ada, ia berasal dari cinta dan kebijaksanaan Allah.

Baca Kejadian 2:4-3:24. Perikop ini berisi kisah penciptaan bagian ke dua yang berasal dari sumber Yahwis. Terdapat ketidak-konsistensian antara kisah penciptaan bagian pertama dan kedua. Misalnya, manusia diciptakan setelah penciptaan binatang-binatang di bagian pertama, tetapi di bagian ke dua manusia diciptakan sebelum binatang. Para penyunting terakhir tidak begitu menaruh perhatian pada perbedaan tersebut, hal ini menjadi sebuah fakta tersendiri bahwa mereka tidak berusaha untuk menghadirkan penjelasan ilmiah mengenai proses penciptaan. Mereka menyertakan kedua kisah tersebut sebab masing-masing telah menjadi warisan kekayaan di dalam komunitas Yahudi pada masa itu, dan masing-masing kisah secara khusus menekankan kebenaran religius.

Keheranan orang-orang dulu, sebagaimana kita dewasa ini, adalah mengapa dunia penuh dengan dosa, penderitaan, sakit, dan kematian. Kisah penciptaan bagian dua, dengan bahasa yang penuh dengan simbol-simbol serta menukik ke dalam kondisi kemanusiaan membahas permasalahan tersebut. Kisah bagian dua ini tidak hanya menjalin cerita manusia-manusia pertama di bumi tetapi mengisahkan tentang kita semua.

Allah telah menganugerahkan kepada kita kehidupan di dunia yang dapat dianggap sebagai surga. Kita dianugerahi kebebasan dan kecerdasan serta dipanggil untuk berjalan berdampingan dengan kasih Allah. Kita diberi kesempatan melakukan komitmen iman di dalam perkawinan dan bersama-sama dengan Allah menciptakan kehidupan baru. Kita dituntut menggunakan kebebasan itu dengan seksama, memilih apa yang oleh Allah dinyatakan sebagai baik dan menghindari apa yang dinyatakan Allah sebagai jahat. Tetapi manusia-manusia pertama telah makan buah dari “pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat.” Dibujuk oleh setan (dalam wujud seekor ular, simbol yang biasanya terdapat pada masyarakat kafir), mereka berkata kepada Allah: “Engkau tidak perlu memberitahu apa yang harus kita lakukan. Kita akan menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat.” Melalui pilihan mereka, dosa datang ke dalam dunia dan menciptakan tembok penghalang antara kita dan Allah. Karena dosa, kita menjadi bisa menderita dan mati, timbul ketegangan dalam hubungan antar manusia, lelah dan jenuh dalam bekerja, mengalami rasa sakit ketika melahirkan. Apa yang dulunya surga menjadi sebuah dunia di mana kita bisa mengalami kematian dan penderitaan, tenggelam ke dalam ketidak-berdayaan dimana keselamatan dapat diperoleh hanya dari Allah, yang bahkan pada saat yang terburuk pun berjanji akan meremukkan kepada ular dan mengalahkan kejahatan.

Dalam lanjutan Kejadian 4-11, lebih merupakan bahasan yang membenarkan bahwa dosa cenderung meningkat dalam mencengkeram kehidupan manusia. Seperti halnya Kain, manusia mengiyakan bahkan ketika diminta membunuh sesama anggota keluarga manusia. Kita terjerumus ke dalam lumpur dosa di mana hanya Allah saja yang dapat menyelamatkan kita. Kita menjadi terasing dari Allah, dari kita sendiri, dan dari satu dengan lainnya sehingga seluruh dunia sepertinya telah menjadi sebuh Menara Babel.

Abraham : Kejadian : 12-25

Sebelas bab pertama dari Kejadian menunjukkan bahwa manusia bergerak menjauh dari Allah. Namun pada penghujung bab 11, seorang pria diperkenalkan, yang akan mengajak manusia kembali kepada Allah. Orang itu adalah Abraham, putra Terah, yang kira-kira pada 1900 SM bersama dengan keluarganya melakukan migrasi dari Ur (Irak modern) ke Haran (sebuah kota perbatasan Turki-Suriah modern). Setelah kematian Terah, Abraham mendengar Allah memanggilnya untuk menempati daerah baru dan berjanji akan menjadikannya sebuah bangsa yang besar. Abraham segera menuruti panggilan itu itu, membawa istrinya Sirai, keponakannya, Lot dan seluruh harta miliknya ke tanah Kanaan (Israel moderen). Dalam penampakan selanjutnya, Allah memperbarui janjinya menjadi sebuah sumpah, mengganti namanya dari Abram menjadi Abraham dan Sirai menjadi Sarah, dan memberkati mereka dengan anak laki-lakinya, Ishak.

Kejadian 12-25 menghadirkan kisah penuh warna tentang Abraham dan keluarganya. Para ilmuwan memperdebatkan kebenaran sejarah dari kisah-kisah tersebut, namun demikian tidak diragukan lagi bahwa Kejadian mengetengahkan Abraham sebagai sebuah model iman, sebagai nenek moyang orang Israel, sebagai seorang yang Allah sendiri menjanjikan tanah yang kemudian diklaim oleh orang-orang Israel.

Sekarang baca Kejadian 12:1-9, Kejadian 15:1-17:27, Kejadian 21:1-8, dan Kejadian 22:1-9. Pada perikop-perikop itu, iman Abraham kepada Allah masih mendapat penekanan. Juga upacara sumpah, dengan memotong hewan yang dipraktekkan di Timur Tengah pada waktu itu. Para pelaku sumpah berjalan di antara potongan-potongan hewan untuk menunjukkan bahwa mereka akan menemui nasib seperti hewan-hewan tersebut jika mereka melanggar sumpah. Kisah Abraham yang dipanggil Allah untuk mengorbankan putranya menunjukkan betapa dalamnya iman Abraham. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjunjukkan kepada orang-orang Israel (yang hidup di tengah orang-orang kafir yang mempraktekkan pengorbanan manusia) bahwa Allah menghendaki korban hewan daripada korban manusia.

Sebelum Abraham meninggal, putranya Ishak menikahi Rebeka, masih tergolong cucu keponakan Abraham dan oleh karena itu sesuai hukum pada waktu itu, dan cocok untuk pasangan Ishak. Melalui Ishak janji Allah kepada Abraham akan terpenuhi.

Ishak, Yakub, dan Anak-anak Yakub : Kejadian 25-36

Ishak dan Rebeka mempunyai dua anak kembar, Yakub dan Esau (Kej 25:19-34). Anak-anak itu kemudian bersaing satu dengan lainnya. Yakub membuat tipu muslihat sehingga memperoleh hak kesulungan ayahnya, dan Ishak memberikan berkat kepadanya bukan kepada Esau. Beberpa kisah seputar Yakub masih diketengahkan dalam Bab 25-36 ini, kebanyakan berkisar mengenai ketrampilan tangan Yakub. Beberapa kisah berdasarkan dari cerita rakyat setempat. Kisah-kisah itu diolah kembali dari mitos-mitos dan legenda-legenda kuno, dengan memberi keterangan tentang nama-nama tempat dan asal-usul bermacam-macam tradisi.

Yakub pergi ke Haran guna mencari seorang istri dan akhirnya mengawini dua orang putri pamannya, Laban. (Poligami -- memiliki banyak istri --, merupakan hal yang lumrah dipraktekkan masyarakat kuno pada waktu itu dan juga raja-raja Istrael hingga abad ke-5 SM). Istri-istri dan pembantu-pembantu perempuannya menjadi ibu dari dua belas anak Yakub, nenek moyang dua belas suku Israel. Dua kisah berbeda (Kej 32:29 dan Kej 35:10) menceritakan nama Yakub diubah menjadi Israel oleh Allah, yang kemudian menjadi nama dari orang-orang keturunan Yakub. Suatu ketika, Yakub kembali beserta keluarganya ke Kanaan dan berdamai dengan Esau.

Baca Kejadian 25:19-34, Kejadian 27:1-45, Kejadian 33:1-20, dan Kejadian 35:9-15. Perikop-perikop ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa utama dalam kehidupan Yakub dan menunjukkan betapa Allah tetap setia pada janji yang telah dinyatakan kepada kakek Yakub, Abraham. Kisah Yakub merampas hak kesulungan milik Esau, dan Ishak memberkati Yakub memiliki makna bagi Esau bahwa Allah dapat memakai bahkan para pendosa guna memenuhi kehendak ilahiNya. Ini bukan berarti Allah menghendaki para pendosa tersebut, melainkan bahwa Allah dapat mengarahkan kembali para pendosa tersebut ke jalan yang benar – dalam hal ini, pemenuhan janji Allah kepada Abraham. (Lihat Kej 35:9-12). Pelajaran yang dapat kita petik: Allah sanggup membawa kebaikan dari hal-hal yang jahat, bahkan dari kesalahan masa lalu kita, bila kita kembali kepada Allah dengan iman dan kepercayaan.

Yusuf : Kejadian 37-50

Kisah Yusuf, yang menjadi penutup Kejadian, mengetengahkan pelajaran yang hampir sama. Yusuf sangat bergantung kepada Allah dalam situasi yang paling buruk sekali pun, dan Allah merubah bencana itu menjadi kemenangan berulang-ulang.

Ketika Yusuf dijual menjadi budak oleh kakak-kakaknya, ia kemudian menjadi seorang pembantu yang berhasil. Ketika ia menolak godaan istri tuannya, ia menerima tuduhan palsu dan dijebloskan ke dalam penjara, yang nampaknya menjadi tonggak guna melangkah menjadi seorang penguasa di Mesir. Kelaparan yang meluas di dunia, telah menjadi disempatan bagi Yusuf untuk menunjukkan kemampuannya di bidang administratif. Dan karena peristiwa kelaparan itu Yusuf bisa bergabung lagi dengan kakak-kakanya dan juga ayahnya, Yakub.

Karena Yakub dapat bertemu kembali dengan Yusuf anaknya, ia meninggal dengan bahagia. Penguburan ayahnya yang dilakukan di tanah Kanaan oleh Yusuf merupakan pertanda bahwa keluarganya suatu saat akan kembali lagi dari Mesir ke Tanah Terjanji.

Baca Kejadian 45:1-28. Perikop ini melukiskan gambaran indah perjumpaan yang penuh emosi antara Yusuf dan kakak-kakaknya dan Yakub menerima berita meyakinkan bahwa Yusuf masih hidup.

Anda barangkali ingin membaca seluruh kisah mengenai Yusuf. Cerita itu sangat menarik, adegan demi adegan berlangsung dengan cepat, jika kita sudah membacanya susah untuk berhenti. Di penghujung cerita, keluarga Israel di Mesir mengalami tragedi demi tragedi, menjadi budak, tetapi Allah akan membebaskan dan mereka akan mengalami hidup baru.

Kitab Keluaran : 1-18

Kejadian diakhiri dengan kematian Yusuf di Mesir kira-kira tahun 1750 SM. Lima ratus tahun telah berlalu antara kematian Yusuf dan peristiwa-peristiwa yang akan dihadirkan dalam kitab selanjutnya, yakni Keluaran. Di dalam kurun waktu lima ratus tahun turunan Abraham menjadi budak. Catatan-catatan kuno merujuk kepada turunan Abraham sebagai “Habiru,” yang berarti masyarakat nomadik yang sedang mencari kerja di proyek-proyek pembangunan di Mesir. (Dari Habiru inilah kemudian muncul istilah Hebrew (Ibrani), nama lain dari Israel).

Kitab Keluaran menggambarkan perbudakan bangsa Israel dan pembebasan mereka di bawah kepemimpinan Musa. Orang-orang Israel telah kehilangan jati diri mereka, tetapi ketika Allah menampakkan diri kepada Musa sebagai “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub” (Kel 3:6), sebuah proses dimulai yang akan membawa orang-orang Ibrani kembali kepada identitas mereka semula yaitu sebagai Keluarga Allah.

Nampaknya, terjadi beberapa gelombang perpindahan orang-orang Habiru ke Mesir dan beberapa gelombang pula ketika mereka meninggalkan Mesir. Kitab Suci memusatkan diri pada Keluaran yang dipimpin oleh Musa. Kebanyakan ilmuwan menempatkan peristiwa Keluaran terjadi pada masa kekuasaan Ramses II dan tahun Keluaran kira-kira pada 1250 SM. Banyak ilmuwan menduga bahwa jumlah orang Israel yang dipimpin oleh Musa hanya beberapa ribu saja. Tetapi ketika kisah Keluaran diceritakan berulang-ulang, ia berubah menjadi semacam kisah kepahlawanan. Dan jumlah orang yang keluar dari Mesir mendekati jumlah penduduk Israel pada masa puncaknya. Peritiwa-peristiwa Keluaran lebih lanjut bobotnya diperbesar sampai menjadi ungkapan mukjizat Allah yang memberikan kekuatan dan perlindungan : wabah penyakit sampar, terbelahnya laut, dan tiang-tiang api.

Apa makna di balik peristiwa sejarah Keluaran? Salah satu kemungkinan skenario sebagai berikut : Musa, sebagai pemimpin yang berpengaruh pada waktu itu, mengalami peristiwa hadirnya Allah (semak yang terbakar). Ia bisa memahami keinginan Allah bahwa Israel harus dibebaskan. Mengambil kesempatan dari kekacauan peristiwa-peristiwa alam pada waktu itu (sungai Nil yang meluap, katak-katak yang terbawa banjir, lalat dan nyamuk yang memakan bangkai katak, merebaknya pelbagai penyakit dan sampar; udara panas, wabah belalang ; badai padang gurun; mungkin kematian putra Firaun), Musa memimpin satu kelompok orang-orang Israel ke suatu wilayah yang dikenal dengan Laut Bambu (Sea of Reeds bukan “Red Sea,” Laut Merah, tampaknya di sini terjadi salah terjemah dari kata Ibrani asli). Orang-orang Israel berhasil menyeberangi Laut Bambu, sementara pasukan berkuda Mesir tenggelam. Banyak dari mereka yang mati, dan orang-orang Israel memasuki padang gurun, tempat mereka mengembara selama empat puluh tahun sebalum memasuki Tanah Terjanji di bawah pimpinan panglima perang Musa, Yosua.

Mengapa kita tidak menganggap kisah Keluaran sebagai apa adanya? Mengapa kita tidak mengikuti saja tafsir yang dilakukan oleh para fundamentalis bahwa Kitab Keluaran adalah sejarah sebagaimana makna modern?

Pada dasarnya, kita tidak menafikan kemampuan Allah melakukan mukjizat dalam kisah Keluaran. Allah adalah Allah dan dapat melakukan mukjizat. Namun jika kita melihat materi Keluaran, kita diajak untuk percaya bahwa pengarang “biblis” bermaksud menulis bukan sejarah dalam artian moderen tetapi kisah kepahlawanan yang mengagungkan Allah dan mempermalukan musuh-musuh Allah. Penulis-penulis ini menggabungkan sumber-sumber kuno menjadi sebuah kisah yang benar-benar mudah diingat, dan mengagungkan kekuatan Allah. Selain itu, para penulis tersebut mengingatkan kembali bahwa memandang asal-mula Israel sebagai bangsa hanya sebatas sejarah jelas tidaklah tepat.

Kita barangkali bisa membandingkan Keluaran dengan lagu country Johny Horton, “The Batle of New Orleans.” (Pertempuran New Orleans). Lagu ini memiliki landasan yang kuat dalam sejarah, tetapi ia ditulis menjadi sebuah bentuk lagu kepahlawanan, dengan imajinasi dan humor. Betul telah terjadi pertempuran di New Orleans pada tahun 1814-1815, dan Jendral Jackson mengalahkan Inggris (lagu ini membantu masyarakat mengingat fakta-fakta ini – Pertempuran New Orleans -- lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pelajaran sejarah di dalam kelas). Namun ada bagian-bagian yang mengagumkan dalam lagu tersebut (buaya dipergunakan sebagai meriam ketika meriam yang sesungguhnya tidak bisa dipergunakan karena terlalu panas!) yang tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai sejarah. Hal yang hampir sama terjadi pada para penulis Keluaran, mereka tidak bermaksud menyajikan rincian-rincian kisah sebagai peristiwa sejarah.

Terdapat beberapa bukti di dalam kisah tersebut yang membawa kita kepada penafsiran bentuk sastra sebagai cerita kepahlawanan daripada sejarah. Pertama, mengapa Firaun mengijinkan Musa datang kembali dengan ancaman-ancaman dan permintaan-permintaan? Mengapa Firaun tidak menjebloskan saja Musa ke dalam penjara atau menghukum mati Musa? Kedua, Keluaran 12:37 mengatakan 600.000 orang laki-laki meninggalkan Mesir; jelas ini akan memberikan gambaran bahwa yang meninggalkan Mesir berjumlah jutaan orang. Tetapi cerita sebelumnya menyebutkan hanya dua pembantu bagi seluruh orang Ibrani! Ketiga, terdapat ketidak-konsistenan jelas hal tersebut bukan merupakan sejarah. Sebagai contoh, “seluruh ternak orang Mesir mati” ketika tulah kelima terjadi (wabah sampar), tetapi ternak itu mati lagi oleh hujan es dan mati lagi ketika tulah kesepuluh terjadi, matinya anak sulung. Keempat, terdapat ketidak-adilan dari seorang Allah yang menghukum satu orang tetapi membela lainnya, bahkan Allah tidak menghentikan pembantaian anak-anak yang tidak berdosa. Allah semacam itu tidak bisa disamakan dengan Allah yang diwahyukan oleh Yesus Kristus.

Sekali lagi ditekankan di sini, kita tidak menolak kemungkinan terjadi mukjizat. Allah adalah mahakuasa dan Ia tidak dibatasi oleh hukum-hukum alam. Mengingat Kitab Keluaran berbentuk sastra dan cerita kepahlawanan sulit bagi kita untuk menyimpulkan dengan tepat apakah mukjizat-mukjizat itu benar-benar terjadi seperti apa yang digambarkan di sana. Keluaran memberikan kita hakikat sejarah yang penting yaitu keluarnya orang-orang Israel dari Mesir di bawah pimpinan Musa. Keluaran menyajikan pelajaran penting bagi kita : Allah begitu memperhatikan umatNya dan Allah mendukung kebebasan. Di luar fakta-fakta pokok, terdapat ruang yang cukup luas bagi spekulasi, dan Gereja Katolik tidak mengeluarkan pernyataan dogmatis perihal permasalahan tersebut.

Baca Keluaran I, kita akan merasakan kesengsaraan dan keputusasaan yang di alami orang-orang Israel yang menjadi budak di Mesir. Baca Keluaran 14, di sana kita merasakan aroma kegembiraan atas kebebasan. Bayangkan anak-anak Yahudi tujuh ratus tahun kemudian, duduk mengelilingi kakeknya:”Ceritakan lagi, kakek, bagaimana Allah menuntun Musa dan orang-orang Israel menyeberang laut!”

Janji Allah di Gunung Sinai : Keluaran 19-40

Orang-orang Israel yang dipimpin Musa ke luar dari Mesir merupakan kelompok pengungsi yang kerap mengeluh. Mereka beradu argumen dengan Musa, mengeluh lantaran hidup menjadi begitu keras, dan bahkan suatu saat mereka ingin kembali ke Mesir.

Kendati demikian, Allah tetap menjadikan para pengungsi ini sebagai anggota Keluarga Allah. Di Gunung Sinai, Allah membuat perjanjian dengan orang-orang Ibrani yang dipusatkan pada Sepuluh Perintah Allah. Orang-orang Israel mematuhi dan menjaga perintah-perintah tersebut sebagai bagian dari perjanjian. Sedangkan bagian Allah dari perjanjian tersebut adalah “janji ilahi” bahwa Allah akan menjadi Tuhan mereka, melindungi mereka, dan menuntun mereka ke tanah terjanji seperti yang telah dijanjikan kepada Abraham.

Sepuluh Perintah Allah ini dituangkan dalam Keluaran 20:1-17 (dan ditulis ulang dengan bentuk yang sedikit berbeda di Ulangan 5:1-21). Tradisi menganggap perintah-perintah tersebut sebagai “berjumlah sepuluh” berasal dari Keluaran 34:28. Tata cara pemberian nomor bervariasi. Gereja Katolik menghitung Keluaran 20:1-6 sebagai satu perintah dan Keluaran 20:17 sebagai dua perintah.

Kitab Suci menganggap Sepuluh Perintah Allah sebagai berasal dari Allah (Kel 34:1) dan juga berasal dari Musa (Kel 34:8). Tradisi-tradisi ini menunjukkan bahwa keberadaan Israel sebagai suatu bangsa sangat bergantung pada hubungannya dengan Allah. Tradisi-tradisi tersebut memperlihatkan bahwa Musa dipilih oleh Allah untuk menetapkan semacam hukum bagi bangsa Israel dan untuk membentuk sebuah bangsa yang akan menyembah kepada Allah Yang Benar. Tradisi-tradisi tersebut juga menetapkan Musa sebagai pemimpin religius yang merancang Tabut Perjanjian, sebuah peti jinjing yang berisi Sepuluh Perintah Allah dan merupakan singgasana Allah dimana Allah akan menjumpai bangsa Israel. Musa yang kemudian menjadi pemimpin membawa bangsa Israel senantiasa berhubungan dengan Allah.

Karena alasan-alasan itulah, sebagian besar hukum dan aturan bangsa Israel, tatacara liturgi, penetapan bentuk Kenisah yang baik, dan pola-pola ibadat semuanya dihimpun dalam Kitab Keluaran bersamaan dengan tibanya Sepuluh Perintah Allah yang berasal dari Allah melalui Musa. Para penyunting, tujuh ratus tahun setelah peristiwa Sinai, menghimpun Kitab Keluaran dari pelbagai macam sumber yang berasal dari hukum-hukum bangsa Israel yang kesemuanya bermuara pada perjanjian di Gunung Sinai.

Para penyunting itu menyadari pula bahwa sejarah Israel merupakan rangkuman pelbagai peristiwa yang terjadi dalam Keluaran. Karena itulah para penyunting tersebut memasukkan kisah Anak Lembu Emas (Kel 32-34) di antara daftar hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Seperti halnya ketika bangsa Israel di padang gurun yang memiliki kecenderungan menolak Allah, begitu pula keturunannya akan mengikuti kegagalan leluhur mereka, bahkan semakin banyak membuat anak-anak lembu emas (Lihat 1 Raja-raja 12:26-32). Sebagaimana Allah mengampuni bangsa Israel ketika mereka menyesal, beberapa abad kemudian Allah juga mengampuni para pendosa, dan tetap mengajak mereka kembali kepada janji kelimpahan setia-Nya.

Apa yang hendak disampaikan perikop-perikop Keluaran kepada kita dewasa ini? Perikop-perikop tersebut menyampaikan kepada kita bahwa Allah senantiasa ingin lebih dekat dengan kita (Kel 33:12-13). Allah menghendaki agar kita mematuhi perintah-perintah yang ditetapkan Allah mengingat perintah-perintah tersebut membawa kita kepada kehadiran Allah. Selain itu perikop-perikop tersebut mengajarkan kepada kita bagaimana mengalami kebebasan dalam arti yang sesungguhnya. Adalah Allah yang membawa bangsa Israel bebas dari perbudakan. Ketika Allah memberi bangsa Israel Sepuluh Perintah Allah, itu dimaksudkan agar bangsa Israel bebas dari ikatan-ikatan yang menyengsarakan : mulai dari bentuk perbudakan sampai dengan dosa. Jika kita mematuhi perintah-perintah tersebut dewasa ini, kita akan menikmati kebebasan penuh tanpa khawatir akan terperangkap dalam lingkaran-lingkaran dosa.

Bahkan kita bisa belajar dari perikop-perikop tersebut daftar-daftar hukum dan peraturan yang dewasa ini sudah tidak pernah kita ikuti lagi. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan tersebut mengingatkan kita akan komitmen para pendahulu kita secara religius untuk hidup secara benar dan tetap melaksanakan kehidupan doa (penyembahan kepada Allah). Hukum-hukum dan peraturan-peraturan tersebut mendorong kita untuk taat dan menyembah Allah dengan cara yang paling baik, "TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel 34:6).

Baca Keluaran 20 :1-17, di sana digambarkan bagaimana Allah menetapkan perintah-perintahNya kepada bangsa Israel. Baca Keluaran 24:1-8, perikop ini mengisahkan bangsa Israel menerima segala persyaratan perjanjian yang ditetapkan Allah dan Musa memimpin mereka dalam sebuah upacara penerimaan perjanjian tersebut. Dalam upacara itu, altar merupakan simbol kehadiran Allah, dan darah perlambang kehidupan. Ketika Musa mengambil darah kurban, dan dipercikan separuh pada altar dan separuhnya lagi kepada orang-orang Israel, Musa menyatakan kebersatuan antara Allah dengan bangsa Israel. Baca Keluaran 32:1-20, dan Keluaran 34:1-9, di sana kita akan menjumpai kisah Anak Lembu Emas dan pembaruan perjanjian. Baca Keluaran 38:1-8, merupakan sebuah contoh mengenai peraturan beribadah yang dimuat di Kitab Keluaran. Aturan itu dicatat begitu rinci mencerminkan keinginan bangsa Israel untuk menyembah Allah dengan segenap hati.

Kitab Imamat : “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, Kudus.”

Kitab Imamat di dalam bahasa Inggris dikenal dengan Leviticus nama ini berasal dari kata Levi mengingat di dalam kitab ini berisi kaidah-kaidah ritual yang diperuntukkan bagi imam-imam dari suku Levi. Kaidah-kaidah ini bermula dari Musa, dan beberapa bermuara dari jaman Musa selama bangsa Israel ke luar dari Mesir (Keluaran). Tetapi nampaknya sebagian besar dari kaidah-kaidah tersebut dihimpun dari masa dan adat istiadat sesudah jaman keluaran. Kaidah-kaidah itu ditempatkan dalam Pentateukh kira-kira tahun 550 SM.

Para pembaca moderen mungkin akan berhadapan dengan aturan-aturan dan ritual-ritual Imamat yang cukup melelahkan bila dibaca. Namun kita dapat menarik manfaat dari kitab tersebut jika kita memandangnya sebagai sebuah dokumen yang dirancang untuk menetapkan idealisasi dan tujuan perilaku Perjanjian Lama sebagaimana leluhur kita melakukan penghormatan terhadap Allah.

Baca Imamat 19:1-19, di sini kita akan berhadapan dengan thema pokok Imamat “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Dalam perikop tersebut kita belajar bahwa memenuhi kewajiban kita terhadap orang lain berkaitan erat dengan pemenuhan kewajiban kita kepada Allah. Kita mendapati beberapa perintah dari Sepuluh Perintah Allah yang dinyatakan kembali, dan kita menjumpai ajakan yang begitu indah yaitu mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Kita juga menemukan aturan yang bagi kita mungkin terasa aneh, seperti larangan mengenakan pakaian yang terbuat dari dua bahan. Para ilmuwan masih berdebat perihal dari mana aturan tersebut berasal. Kerapkali aturan-aturan itu berasal dari kegiatan ritual. Pada waktu-waktu tertentu aturan-aturan itu berasal dari pengalaman, misalnya larangan memakan daging babi. Aturan ini muncul lantaran begitu banyak orang Israel yang terkena penyakit cacing pita. Apa yang pada mulanya hanya ditabukan lantaran makanan-makanan tertentu berpotensi membahayakan, lama-kelamaan dimaknakan sebagai larangan agama.

Baca Imamat 23, instruksi melaksanakan Sabat dan lima perayaan suci orang Yahudi : Paskah, Pentakosta, Tahun Baru, Hari Perdamaian, dan Pondok Daun. Tujuan hari Sabat dan lima perayaan suci adalah untuk membantu orang-orang Israel mengingat kebenaran yang paling mendasar :”Akulah TUHAN, Allahmu” (Im 23:43).

Imamat bisa membantu kita mengingat bahwa Allah adalah Tuhan kita dan harus menata hidup kita menurut pola yang telah diberikan Allah kepada kita. Kita harus kudus karena Allah adalah kudus.

Kitab Bilangan

Nama Kitab Bilangan berasal dari bilangan angka dari dua kali pelaksanaan penghitungan penduduk Yahudi (sensus) dan dari daftar barang-barang dan orang-orang yang diuraikan dalam kitab tersebut. Kitab itu menggambarkan empat puluh tahun pengembaraan bangsa Israel di padang gurun dan berakhir dengan menjelang masuknya bangsa itu ke Tanah Terjanji. Pelbagai macam catatan, daftar, cerita-cerita, dan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi-tradisi itu diwariskan orang-orang Israel selama berabad-abad sebelum disunting menjadi bentuk yang kita kenal sekarang ini. Dengan menyusun materi-materi tertsebut, para penyunting akhir Bilangan mendorong orang-orang Israel pada tahun 550 SM untuk melihat diri mereka sendiri sebagai sebuah komunitas suci, yang diatur oleh kehendak Allah, diundang untuk mengikuti hukum Tuhan.

Pembaca barangkali ingin membaca cepat daftar-daftar yang tercantum dalam Bab 1-3 agar lebih mengenal tipe-tipe sastra. Baca Bilangan 20 untuk mendapatkan pemahaman atas empat puluh tahun pengembaraan bangsa Yahudi di padang gurun, seperti : catatan kematian adik Musa, Miryam, gugatan orang-orang Israel karena kekurangan kebutuhan pokok seperti air, gangguan yang terus-menerus dari bangsa-bangsa sekitar yang bersikap permusuhan, dan kematian adik Musa, Harun.

Baca Bilangan 22-24. Di sini kita akan menemukan sebuah legenda (mungkin dikembangkan dari sejarah leluhur bangsa Israel) dimaksudkan untuk mengajarkan kebenaran religius. Begitu bangsa Israel mendekati Tanah Terjanji, kehadiran mereka membuat cemas Raja bangsa Moab. Raja itu berusaha menyewa seorang nabi bernama Bileam, untuk mengutuk bangsa Israel. Namun dari legenda yang berkaitan, Bileam dituntun Allah sehingga ia tidak bisa mengutuk bangsa Israel tetapi sebaliknya malah memberkati orang-orang Yahudi. Ada juga cerita humor yang menarik, utamanya cerita tentang binatang yaitu seekor keledai yang bisa berbicara. Baca Bilangan 22:22-35 untuk memahami bagaimana cerita tentang binatang itu mengajarkan kebenaran religius bahwa bangsa Israel ada dalam lindungan Allah.

Kitab Ulangan

Dalam bahasa Inggris Kitab Ulangan dikenal dengan Deuteronomy yang berati “hukum kedua,” atau “salinan hukum.” Nama ini sesuai karena Kitab Ulangan diawali dengan ulangan hukum dan aturan-aturan yang dapat ditemukan dalam Pentateukh. Hukum-hukum dan aturan-aturan di dalam kitab ini dicantumkan dalam format sebuah kotbah yang disampaikan Musa kepada bangsa Israel beberapa saat sebelum mereka memasuki Tanah Terjanji.

Musa mempelajari seluruh peristiwa Keluaran dari Mesir dan selama empat puluh tahun mengembara di padang gurun. Ia mengulangi lagi hukum-hukum termasuk Sepuluh Perintah Allah (Ul 5:1-21) yang telah digunakan untuk mengatur bangsa Israel. Musa merinci berkat-berkat Allah yang akan diterima bangsa Israel bila mereka mematuhi hukum-hukum dan aturan-aturan tersebut serta memperingatkan akan adanya kutukan-kutukan jika bangsa itu tidak mematuhi hukum dan aturan tersebut. Setelah Yosua ditunjuk Allah sebagai pengganti Musa, Musa memberkati dua belas suku bangsa Israel, mendaki Gunung Nebo untuk melihat Tanah Terjanji dan meninggal di sana.

Kitab Ulangan berakhir begitu bangsa Israel bersiap memasuki Tanah Terjanji dengan sebuah pujian bagi Musa, …….”dalam hal segala tanda dan mujizat, yang dilakukannya atas perintah TUHAN di tanah Mesir terhadap Firaun dan terhadap semua pegawainya dan seluruh negerinya, dan dalam hal segala perbuatan kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa di depan seluruh orang Israel.” (Ul 34:11-12).

Mengingat Ulangan menghadirkan Musa sebagai seorang orator yang menyampaikan pidatonya kepada orang-orang Israel, para fundamentalis menafsirkan kitab tersebut sebagai berisi pidato yang sesungguhnya yang disampaikan oleh Musa. Tetapi, bahasa, gaya, dan rujukan terhadap peristiwa sejarah di kemudian hari, menunjukkan hal yang sebaliknya. Rasanya juga tidak mungkin Musa yang berumur 120 tahun mampu berpidato sepanjang yang disajikan dalam Kitab Ulangan di hadapan ratusan ribu orang Israel. Kemungkinan besar, Kitab Ulangan adalah sebuah perangkat bergaya sastra yang menempatkan Musa sebagi pusat panggung sebagai seorang pelaku sejarah yang menyampaikan pidatonya kepada orang-orang dewasa, sebagaimana seorang pemain teater beraksi di muka penontonnya.

Sangat mungkin bahwa bagian-bagian Ulangan dan sebagian dari Pentateukh berasal dari Musa sendiri. Namun Kitab Ulangan yang bentuknya seperti yang kita kenal dewasa ini kemungkinan besar ditulis oleh para pemimpin religius Israel pada waktu pembuangan di Babel. Yerusalem telah dihancurkan, puluhan ribu orang Israel dibantai, dan ribuan lainnya dipaksa menyeberang padang gurun menuju Babel. Di jaman sengsara dalam sejarah Israel ini, penulis-penulis Kitab Ulangan menempatkan Musa berhadapan dengan orang-orang Israel. Setting-nya adalah kelompok orang-orang Israel yang akan memasuki Tanah Terjanji, tetapi audience (penonton) yang sesungguhnya adalah kelompok orang-orang yang selamat dari pembuangan. Pesan yang disampaikan sangat jelas. Hanya ada satu Allah. Allah adalah penuh dengan kesetiaan. Allah sendirilah yang layak untuk disembah dan dihormati. Patuh pada Allah akan menuai berkah, menolak Allah hanya akan mendatangkan kehancuran.

Pesan tersebut menjadi dasar apa yang kemudian disebut sebagai Teologi Deuteronomist. Para penulis Ulangan melihat kembali sejarah Israel dan menemukan sebuah pola di sana, yaitu Allah selalu setia. Ketika orang-orang Israel menuruti kehendak Allah segalanya berlangsung baik; namun ketika mereka tidak patuh, segalanya berubah menjadi buruk. Sebagaiman terjadi di kemudian hari, raja dan tentara tidak dapat menyelamatkan Israel. Hanya Allah yang sanggup. Dan kepatuhan kepada Allah akan menjadi satu-satunya cara untuk menerima pengampunan dari Allah.

Kitab Ulangan disusun sebagian besar berasal dari tradisi Deuteronomist. Tradisi Deuteronomist dapat kita temui pada kitab-kitab Pentateukh yang terdiri atas beberapa ayat yang tersebar di sana-sini. Namun tradisi Deuteronomist itu menjadi sumber dari Kitab-kitab Yosua, Hakim-hakim, 1 dan 2 Samuel, dan 1 dan 2 Raja-raja. Ia juga memiliki pengaruh penting dalam penulisan kitab-kitab lainnya dari Kitab Suci. Kitab Ulangan berdampak begitu besar dalam Yudaisme dan Kekristenan. Kitab Ulangan dikutip dan dirujuk sebanyak dua ratus kali di dalam Perjanjian Baru.

Teologi Kitab Ulangan sangat terbatas. Para penulisnya adalah orang-orang yang berasal pada jamannya, dan mereka belum memperoleh kepenuhan wahyu yang disampaikan melalui Yesus Kristus. Para penulis tersebut bersama penulis Perjanjian Lama lainnya, belum bisa membedakan antara Allah yang menyebabkan sesuatu atau menganugerahkan sesuatu. Mengingat Allah begitu perkasa, mereka percaya bahwa Allah penyebab segala sesuatu, termasuk penderitaan. Dan jika Allah menyebabkan sesuatu yang buruk, Allah pasti mempunyai alasan baik tersendiri. Biasanya, alasan tersebut berupa hukuman bagi para pendosa. Oleh karena itu, jika seseorang menderita, hal itu disebabkan karena ia berdosa.

Karena teologi yang dianut Ulangan sangat dekat kaitannya antara dosa dan penderitaan, maka sudah selayaknyalah kita menuruti kehendak Allah. Dan dunia yang kita huni akan menjadi tempat yang jauh lebih baik jika semua orang melakukan hal yang sama. (Bayangkan betapa indahnya dunia yang kita huni jika semua orang melaksanakan Sepuluh Perintah Allah!). Namun karena begitu banyak orang tidak menuruti kehendak Allah, dunia jauh dari apa yang Allah kehendaki. Di dalam dunia seperti ini, orang yang tidak bersalah dapat menderita karena ulah para pendosa baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepatuhan akan Allah tidak selalu menjanjikan kebahagiaan dan penderitaan tidak selalu hasil dari penolakan pribadi akan Allah.

Persoalan paling mendasar dari teologi Ulangan adalah ia mengajak orang untuk percaya bahwa penderitaan pribadi adalah sebagai akibat dari dosa pribadi. Hal ini menjadi bahan pertanyaan di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya seperti Ayub, dan teologi Ulangan dibantah secara total oleh ajaran dan hidup Yesus Kristus, yang tanpa salah sedikit pun menjadi korban dari dosa orang lain. Dalam memahami Ulangan, kita ditantang untuk menyimpulkan filosofi penderitaan bagi diri kita sendiri, berangkat dari keterbatasan Perjanjian Lama sampai dengan pemenuhan Wahyu di dalam Yesus Kristus.

Baca Ulangan 1:1-8, di mana para penulis Ulangan menyiapkan panggung bagi Musa untuk berbicara dengan umat Israel, tidak hanya bagi mereka yang sedang bersiap memasuki Tanah Terjanji tetapi juga bagi mereka dalam segala usia. Baca Ulangan 5:1-6:9 yang merupakan ulangan dari Perjanjian Sinai (Horeb adalah kata lain dari Sinai). Di sini juga termaktub pandangan deuteronomist mengenai Musa, yakni pernyataan bahwa kehidupan yang baik merupakan upah dari ketaatan dan pernyataan pertama kalinya mengenai “Perintah Agung.” Baca Ulangan 30, bab yang meringkas teologi Ulangan. Perhatikan bahwa sepuluh ayat pertama disampaikan bagi umat Israel yang diasingkan ke Babel.

Pentateukh : Sebuah Kesatuan

Pentateukh sebagaimana yang telah kita kenal disebut Taurat oleh orang-orang Yahudi dan dianggap sebagai satu kesatuan. Kejadian berhubungan dengan asal mula Keluarga Allah. Keluaran mengisahkan tentang sejarah kelahiran bangsa Israel. Imamat menekankan kesucian Keluarga Allah. Bilangan menggambarkan bagaimana mengatur sebuah bangsa. Ulangan menunjukkan roh cinta kasih dan kepatuhan yang harus menjadi ciri Keluarga Allah. Kitab-kitab ini sebagai satu kesatuan telah membentuk dasar bernegara orang-orang Yahudi, leluhur kita dalam hal iman.

Pertanyaan untuk bahan Diskusi dan Renungan

Sejauh mana Anda memahami silsilah keluarga Anda? Sejauh mana Anda bisa menelusuri sejarah keluarga Anda? Apakah Anda mempunyai kenangan tertentu dalam keluarga? Tradisi seperti apa di dalam keluarga yang paling Anda gemari (hari-hari libur, makanan untuk hari-hari tertentu, dll). Pernahkah Anda berpikir bahwa Perjanjian Lama merupakan sebuah catatan silsilah dan asal-usul, sejarah, dan kenangan, dan tradisi keluarga Anda? Apakah daftar nama, aturan, hal-hal penting yang dapat kita temui di Perjanjian Lama membantu Anda memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya?

Pernahkah Anda berpikir bahwa Sepuluh Perintah Allah sebagaimana dimaksudkan Allah adalah untuk memberikan kebebasan penuh kepada kita? Sadarilah bahwa dunia kita begitu terbelenggu oleh dosa. Apakah dunia yang kita huni ini akan berubah jika mulai hari ini semua orang melaksanakan Sepuluh Perintah Allah?

Para ilmuwan moderen di bidang astronomi, fisika, dan mikrobiologi memberikan pernyataan bahwa begitu besarannya alam semesta dan begitu kompleksnya bagian-bagian yang terkecil semakin membawa kepada iman akan Allah. Sangat masuk akal untuk mengatakan bahwa alam semesta dengan seratus miliar galaksi pastilah berasal dari sesuatu yang Abadi, yang Mahakuasa, mengingat E=mc2. Tetapi menjadi tidak masuk akal dengan mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari yang tidak ada (nothing). Tubuh manusia terdiri atas kira-kira 75 triliun sel, dan masing-masing sel mengandung lebih dari satu triliun atom. Hal-hal yang berkaitan dengan ini dapat Anda baca dari buku-buku seperti The Hidden Face of God oleh Gerald Sschroder dan More Than Meets the Eye oleh Dr. Richard Swenson yang memberikan kesaksian bahwa kehidupan manusia tiak mungkin berevolusi lantaran kebetulan. Apakah penemuan-penemuan ilmu pengetahun memperkuat iman Anda akan Allah?

Kitab Suci mengajarkan kebenaran religius yang diperkuat oleh studi-studi ilmiah. Gerald Schroder menunjuk pada kesetaraan yang mengagumkan antara enam hari penciptaan dan pemahaman ilmiah terhadap pola-pola perkembangan setelah Ledakan Besar (Big Bang). Ilmuwan-ilmuwan lain -- mengamati bahwa Kitab Kejadian menyebut adanya cahaya lebih dahulu sebelum penciptaan bintang-bintang – menjelaskan bahwa produk paling utama dari Ledakan Besar adalah radiasi yang begitu kuat, yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai cahaya. Dalam artian ini, cahaya sungguh ada sebelum bintang-bintang diciptakan. Apakah Anda mempelajari adanya kesamaan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan. Mungkinkah pararel itu merupakan inspirasi Allah agar kita memperhatikan hal tersebut sejalan dengan pengetahuan kita mengenai alam semesta yang semakin canggih?

Aktivitas

Cobalah Anda keluar rumah ketika langit malam cerah dan lihatlah ke atas. Ada lebih dari 100 milyar bintang pada gugus (galaxy) Milky Way dan lebih dari 100 milyar gugus (galaxy) dalam alam semesta. Berapa luas dan ukuran alam semesta? Tak terbayangkan. Untuk mencapai bintang yang terdekat dengan gugus kita dengan pesawat komersial yang ada sekarang diperlukan 100.000 tahun. Bahkan dengan kecepatan cahaya (299.792 km per detik), dibutuhkan waktu 30 milyar tahun berkendara dari ujung gugus ke ujung gugus lainnya. Tanyalah diri Anda sendiri : dapatkah hal-hal tersebut muncul dari sesuatu yang tidak ada? Camkan Kejadian 1:31 :”Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” Pujilah Allah karena kebesaran alam semesta. Berterimakasihlah kepada Allah karena kita diberi kesempatan untuk mempelajari keindahan ciptaaNya.

No comments: